Lis, malam ini berjalan terlalu lama. Bintang-bintang itu, lihatlah, sepertinya mereka sedang menertawakanku yang duduk di beranda tua ini dengan sebatang rokok putih…
Depo, 1.2.2010
Chheeerrrrssss. Gracias muchas, Lis. Malam ini, di bawah temaram bulan yang malu-malu dia mengungkapkan cintanya dalam kata lembut padaku. Di bawah temaram bulan ini, Lis, hhhmmmmmhhhh… Aku merasa diriku sungguh ada… ada, Lis… ada…
Depo, 2.2.2010
Lis, ini hari pertamaku… uuhhh… mata itu, bibir itu, rambut itu, tangan itu, setiap inci dirinya membayang di bilik ingatankku… Selamat malam, Lis…
Depo, 3.2.2010
2.2.2011
Lembayung senja masih nanar di garis rel kereta tua gudang-gudang pupuk Depo Indah. Waktu bergulir cepat, setahun sudah langkah-langkah kisah cinta Rena dan Ben. Pengalaman mereka terekam pada kursi-kursi Stasiun Tawang. Kecup dan kata rayu-manja tersisa pada sudut-sudut Kota Lama Semarang. Rena selalu riang setiap kali Ben mengajak ke Restoran Ikan Bakar Cianjur di depan kantor pos tua. Tempat maka itu menjadi favorit Rena karena disitulah Ben mengecup keningnya untuk pertama kali sebagai hadiah ulang tahunnya. Ya. Tepat, lima hari setelah Ben menyatakan cinta padanya. Tepat, hari itu, Rena berulang tahun dan mendapatkan hadiah istimewa dari Ben, sebuah kecupan manis, hangat, dan lembut, sekaligus guan merah kirmizi yang menawan. Momen roman itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Rena.
Malam ini, Ben datang ke rumah Rena untuk mengajaknya ke Restoran Ikan Bakar Cianjur lagi untuk merayakan hari istimewa. 2.2.2011, hari ini, Rena dan Ben merayakan satu tahun hari jadi mereka. Hari istimewa ini ingin mereka pakai untuk memutar kenangan mereka, melihat kembali jejak-jejak kasih yang telah mereka buat. Ben datang dengan setelah kaos denim coklat rapi, memesona.
“Permisi, Bu, selamat malam, saya mau bertemu Rena, apakah dia ada di rumah? Kami sudah janjian untuk pergi bersama malam ini ke Restoran itu lho, Bu, ikan bakar…” sapa Ben, setibanya di muka rumah Rena dan disambut Ibu Rena.
“Oh, sumangga karsa, masuk dulu lha, Ben… itu Bapak lagi baca koran, ngobrol bentar deh… Rena pasti masih dandan… walah cah bagus… kok rapi bener…” tanggap Ibu Rena.
“Hmmm… ya Bu makasih, saya masuk ke dalam ya Bu…”
“La da lah… ndak usah malu-malu, masuk aja, anggap rumah sendiri…” balas Ibu Rena ramah.
“Oh, Ben, mari… mari… silahkan duduk dulu, itu Rena masih di dalam, pastinya lagi macak… biar cantik…” ujar Bapak Rena.
“Terima kasih, Pak. Gimana kabarnya nih Pak, akhir-akhir ini? Lancar pak bisnis ikan air tawarnya?”
“Lho, ya baik to ya. Lancar, Ben. Seperti biasalah… pelanggan banyak… tapi ndak tahu itu, sekarang kok banyak jamur ikan… hadduhhh…”
“Oh, itu perlu dibelikan obat, Pak. Mau saya carikan?”
“Ndak usah, Ben. Ndak usah repot-repot. Gampanglah… Reeeennnn… dah ditunggu lho… cepetan… ndak usah lama-lama…” seru Bapak Rena ke arah kamar tengah, mengundang anak putrinya semata wayang.
Lis, dia sudah datang, pasti rapi, pasti manis, pasti senyum simpulnya terselip di lesung pipi kirinya, pasti… pasti Lis… malam ini akan jadi malam istimewa… Lis, ayoooo, ceepeetan, kita berangkat…
Depo, 2.2.2011
Hhhhhmmmmmfffhhhmmm…
“Iyaaaaa… Pak… bentar…” balas Rena sekenanya.
Dari balik tirai ruang tengah, Rena keluar dengan gaun biru muda dan sepatu biru laut dari butik teman SMA-nya. Wajah bapak agak sedikit membelalak saat matanya memandang putrinya yang sudah jadi gadis muda ini.
“Hmmm… peerrrffeeekkk… anak bapak memang cantik…”
“Halah… apa to pak… biasa aja…”
“Ren, kamu memang terlihat istimewa kok…” puji Ben, sambil menatap Rena.
“Hmmmhhmmm… yang bener lho?”
“Serius… Yuk berangkat… Pak, saya mohon pamit pergi dengan Rena. Kami akan pulang sekitar jam delapan ya Pak… minta izin…” kata Ben sopan.
“Oh… ya… silahkan… hati-hati di jalan ya…”
“Nduk, hati-hati lho… Ben, bawa motornya ndak usah kenceng-kenceng ya…” kata Ibu Rena lembut, penuh perhatian.
“Pak, Bu,… Rena pergi makan keluar dulu ya… muaccchhh….”
Ben menggandeng tangan Rena mesra, berjalan pelan menuju motornya. Ben naik duluan, lalu Rena menyusul di belakangnya.
“Sudah… okey…”
“Yuk…” kata Rena pelan.
Lis, kita makan ikan bakar. Kita mengenang hari jadi itu. Kita berdua saling kecup. Lis, malam ini, istimewa…
Hmmmffffhhhmmm… enak betul, Ren…kalau aku sih biasa saja…karena ada tirai yang kamu tak mengerti… ha ha ha ha ha
Lihat, Lis… Nyala lilin itu, romantis kan, teduh kan, berpadu dengan setelan coklat Ben. Malam ini malam kita, Lis..
Jelaslah…
.
Malam ini menjadi malam yang istimewa bagi Rena. Ben memesan meja di sudut ruangan, kaca luar menghadap seluruh bangunan kota lama, ditambah lilin-lilin kecil putih yang menyala di atas meja.
“Ben… makasih ya untuk semua ini…”
“Ah… ini kan malam istimewa kita Ren… hhhmmm…” deham Ben terakhir mengisyaratkan sesuatu. Ada hal yang mendesak ingin keluar tapi masih dibendung. Ben berusaha menahan kata-katanya.
“Ada apa Ben, kok kayaknya ada yang kamu pikirkan dan ingin katakan?”
Ben terlihat agak murung, berbeda dari Ben yang tadi tiba di rumah Rena. Ada ganjalan yang ingin diungkapkan, dikatakan pada Rena. Namun, dia tampak ragu dengan uraian kata yang mungkin akan menjadi berita tidak menyenangkan bagi Rena.
“Ren…”
“Apa Ben… omong aja ndak pa pa kok…”
“Ren, lima hari lagi… hhhmmm… lima hari lagi aku pindah kerja, Ren… aku akan berangkat ke Surabaya…” Ben tertunduk gelisah.
“Lha… ndak masalah dong Ben, kan kita masih bisa kontak lewat ha-pe…”
“Hmmm…”
“Kamu ndak di Surabaya terus kan? Masakan ndak ada waktu untuk liburan pulang ke Semarang?”
“Itu dia Ren… aku dapat tempat tinggal di sana, semua disediakan perusahaan…”
“Ben… kalau begitu, aku kan masih bisa main ke sana…”
“Yahhh… semoga tetap berjalan lancar Ren…”
Malam ini, mereka pulang dalam diam. Rena masih bingung kenapa kepindahan Ben ke Surabaya terlihat begitu berat. Padahal baginya, itu bukan suatu masalah. Rena merasa itu hanya hal biasa, kepindahan kerja, toh bukan hal yang bisa menghancurkan hubungan mereka. Rena tidak melihat ada permasalahan atau problem pada titik ini. Semua masih bisa berjalan lancar dan beres pastinya. Komunikasi masih bisa berjalan. Saling bagi cerita masih bisa lewat telepon selular atau jejaring sosial.
Di bawah langit malam, Ben tampak kurang bersemangat. Ada sesuatu yang masih disembunyikannya dan tidak ingin dia katakan pada Rena.
Lis, aku bingung pada Ben. Ada yang janggal padanya malam ini. Padahal malam ini kan malam peringatan hari jadi kami… Kenapa ya… Apa karena dia akan pindah ke Surabaya… Tapi, aku ndak melihat masalah di sana kok…
Depo, 2.2.2011, Malam
Sudah kukata padamu, ada yang tak kamu mengerti dan pahami… kasihan betul…
5.2.2011
Lis, ini hari ulang tahun… Tidak ada kabar apa pun dari Ben. Tidak ada hadiah dengan kartu pos cantik dari Ben, seperti waktu itu. Hari ini Ben berangkat dan hanya berkirim sms padaku bahwa dia sudah pergi pagi-pagi tadi…
Halah, ga usah manja Ren… Kenapa harus bingung… gampanglah, nanti, suatu saat, pergi maen saja ke rumah dinas Ben di Surabaya…langsung datang, semprot di tempat, laki-laki ga tau malu dia…
Iya juga sih, Lis… Tapiiiii…
Kita buat kejutan aja buat Ben, tiba-tiba datang ke Surabaya tanpa beri kabar. Berani ga? Kamu tahu alamatnya kan?Langsung tanpa ba bi bu, tanyai keputusannya…
Itu dia, Lis… aku ga sempat tanya alamat dan dia juga tidak mau memberi alamatnya. Ben bilang tempatnya jauh dan ndak usah ke sana, nanti aku nyasar… tunggu liburan saja, begitu katanya…
Rena… Rena… polos banget sih, kamu bukan anak kuliahan lagi Ren, ya tanya dong ke kantor Ben yang di pusat Kota Semarang itu. Lah ya dicoba segala cara… Jangan-jangan memang ada yang disembunyikan Ben. Jangan-jangan dia sudah punya kekasih yang lain. Atau, jangan-jangan selama ini, kamu memang belum sungguh mengenal dia, Ren… ha ha ha ha ha ha kasihan sekali kamu, Ren….
Ahhh… kamu omong apa sih, Lis…
Lha, ya terserah aku… terserah kamu… terserah aku… ha ha ha ha ha ha ha
Rena duduk di muka jendela kamarnya. Diam. Bisu. Pikirannya melayang-layang pada bayangan Ben yang tidak sempat diantar, bercakap sejenak, maupun mengucap perpisahan. Ben berlalu begitu saja seolah tidak ada yang dia tinggalkan, seolah tidak ada Rena.
Angin sejuk siang itu menerpa pipi Rena yang mulai basah air mata. Berbagai pertanyaan kalur membuncah dalam benak Rena. Kenapa, kenapa, dan kenapa saling terjang dalam pikirannya. Kenapa tiba-tiba Ben berubah sedemikian cepatnya? Ada kebingungan dan kegelisahan yang tak terjawab.
Lis, aku kepikiran maen ke Surabaya deh, minggu depan…
Lha, ya terserah aku… terserah kamu… terserah aku… ha ha ha ha ha ha
Sampai pada harinya, minggu itu, Rena tetap diam di Semarang. Dia tidak berani ambil langkah ke Surabaya. Ben tetap hilang dalam kegelapan tanpa kabar. Bingung. Kalut. Resah. Segala perasaan campur aduk dan mengendap pada hidup harian Rena.
2.2.2012
Lis, ini hari istimewa yang sepi… Telepon Ben tidak pernah diangkat selamat setahun ini. Aku hanya mendengar nada tunggu, lalu hilang…
Depo, 2.2.2012, Pagi
Orang tua Rena melihat perubahan besar dalam diri anaknya. Mereka sering bertanya soal Ben tetapi Rena tidak banyak kata tentang hal ini. Mereka kira Ben sudah putus dengan Rena. Nyatanya, Rena tidak bilang kalau mereka sudah putus. Dia hanya bercerita bahwa Ben sudah pindah ke Surabaya. Selebihnya, nihil percakapan tentang Ben. Rena memilih diam dan kadang pergi ke luar, main ke mall atau cafe.
Setahun telah berjalan dalam kehilangan sosok Ben. Setahun pula berjalan dalam ketakutan untuk datang mengunjungi Ben di Surabaya. Rena tidak ingin mengganggu kesibukan Ben. Dia juga tak ingin menjadi penghalang untuk karir yang sedang dijalani Ben. Namun, mengapa Ben harus hilang-lenyap begitu saja tanpa ada komunikasi atau cerita lagi? Jika memang hubungan mereka berakhir, mengapa Ben tidak menyatakan secara tegas keputusan ini? Seolah, Rena berpikir, masih ada yang disembunyikan Ben dari dirinya.
Rena… kasihan sekali kamu… hanya diam, diam, dan diam… konyol…
Lis, mengapa kamu tidak memberi jalan keluar atau sesuatu yang meneguhkan…
Lha kan soal Ben bukan persoalanku, kamu sendiri yang jalani, kamu yang jatuh cinta ke dia, kamu suka, kamu yang berduaan, kamu yang dikecup…
Lis… aaaaaaccchhhhh…
Ren… apa sudah kamu putuskan…
Sudah, Lis… hari ini aku akan segera terbang ke Surabaya…
Lis, ya silakan saja sana… kan itu bukan urusanku…
Ada dorongan besar dalam diri Rena untuk pergi ke Surabaya. Dia ingin sebuah kejelasan, kepastian tentang hubungannya. Dia tidak ingin terkatung-katung begitu saja tanpa keputusan dari Ben.
Rena sudah dapat alamat rumah dinas dari kantor Ben di Semarang. Dengan bantuan kenalannya di salah satu maskapai pesawat, Rena segera mendapat fligth siang ke Surabaya. Hatinya kalut, berdebar-debar kencang, memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada Ben. Namun, dia pun memikirkan apa tanggapan Ben tentang kedatangannya ke Surabaya. Entah, dia tidak tahu dan tidak dapat meramalkan kejadian yang menunggunya di depan nanti. Harapannya hanyalah satu mendapat kepastian dari Ben dan lepas dari suara-suara yang berdengung dalam kepalanya.
Ada apa ini, kenapa tiba-tiba semua terasa gelap dan membingungkan.
Liss… di mana kamu…Lisa, kenapa tiba-tiba jadi gelap seperti ini… Lis… Lis… apa kita sudah sampai di Surabaya… mana Ben…?
Surabaya, Rumah Dinas Ben
Ding dong…
Ding dong…
Ding…
Ceklrek!!!
“Eh, Lisa, sudah lama aku menunggu kamu lho… gimana kabar Rena…?”
“Ha ha ha ha ha ha, Rena baik-baik saja di dalam… tidur panjang dan tenang…”
“Lis… Lis… apa memang sulit untuk sepenuhnya hadir begini…”
“Bukan sulit, Honey Ben… cuman, ga tega… ha ha ha ha ha ha”
See you, Ren.. Thanks for your Ben… .
Dan sepasang manusia itu masuk ke dalam rumah.
Johar Baru, 2012
No comments:
Post a Comment