Wednesday, September 25, 2013

Friends Forever

Jarum jam seolah tidak mengerti maksud akan hatiku…
Berputar dan terus berputar meninggalkan masa itu.
Arrgggg Waktu…
Entah apa yang harus aku lakukan dengan Waktu…
Guliran-guliran rasa dengan salur-salur kenangan…
Ada saatnya aku hanya musafir yang terpesona dengan kuncup-kuncup peristiwa dalam gulatan sang waktu…
Ingin kupeluk masa itu…
Erat… erat.. dan semakin erat… 

*****

Oh.. Sang Pencipta waktu, ijinkan sejenak aku hentikan putaran jarum jam itu….
Biarkan rasa ini menikmati indahnya kenangan itu !!!
*****

Saat jauh raga ini dari semua sentuh-sentuh sahabat kekasih jiwaku…
Saat senyum kalian selalu luruhkan Kristal-kristal bening di pelupuk mataku…
Saat rindu menjadi sesuatu yang sangat perih pada eja hariku…
*****

Saat itulah aku merasa seperti musafir bodoh!!
Mengapa dulu aku tak puaskan raga ini sentuh senyum lembut kalian
Mengapa dulu tak puaskan kedua tangan ini untuk peluk bahu-bahu kalian….

*****

Kebodohan yang timbul karena desakan rindu!!
Rindu yang paksakan perihnya karena salur-salur cinta dalam dada ini!!
Aku ingin teriakkan pada langit-langit kamar!!
Aku rindu kalian!!
Aku cinta pada setiap moment yang sudah kita lewati…
Sungguh!!
Raga kita boleh menjadi jejak dalam titik kenang
Tapi jiwa ini…. Jiwa ini akan selalu peluk kalian…
Satu…. Satu… maknai peluk jiwa dengan untaian doa lewat bait-bait cinta.
*****

Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. Ahhh itu semua pasti terjadi dalam setiap perjalanan hidup kita. Namun bukan berarti berpisah membuat kita tidak bisa menyapa satu sama lain. Berpisah fisik namun bukan berarti berpisah hati. Kebersamaan yang terjalin akan selalu terkenang dan terpatri dalam hati. 
Baru sebulan kemarin aku melangkahkan kaki meninggalkan kalian, sahabat. Seolah masih terngiang canda dan tawa kita di kala senggang. Ingin rasanya punya mesin waktu untuk kembali ke masa itu. Ah.... beruntungnya aku, mendapatkan kalian sebagai sahabat-sahabatku. Adik bungsu... Yah sebutan yang paling pas buat aku diantara kalian. Sahabat bukan hanya sekedar sahabat. Sahabat yang kadang kala bisa menjadi keluarga. Banyak sekali pengalaman dan pelajaran yang bisa kuambil dari kebersamaan kita. Yahhh.... Semua tinggal kenangan. Berat memang yang kurasa. Namun, semua adalah proses hidup yang mesti dijalani. Perpisahan, bukan berarti berpisah untuk selamanya. Semua akan menjadi cerita dan kenangan yang indah. Jejak ini akan terekam indah dalam memori yang paling dalam. 

Sahabat…
Cinta ini ada dan selalu akan ada di dalam dada. 






Para Mafia UGM.. :)




Perpisahan duyuuu..... :)








Tim solid CSR MHP








 Thanks a lot big Papa

Thanks buat kenang-kenangannya... :)



Dedicated to : 
• Pak TavivPak Taufan, Abah, Mas Erwin Doenuvan Thanks a lot atas kesabaran dalam memberikan bimbingan selama kurang lebih lima tahun di PT. MHP.

• Cece Maya Thanks buat pesan terakhirnya, seneng plus sedih bacanya… hiks…
“Event short, but it was really wonderful to have someone like you, you as my friend, young sister or even daughter??? As your “taichie” or “okasan” I like you always be yourself, and chase your dreams and make them come true while you have time.” Sukses ya sayang “ ( Cece Maya)
• Mbak SariMbak EenMbak MurniMbak Reni, Mbak ika, Jely..…. Heemmm Great friends. Thanks for the pure friendship.


• Pak John, Big Papa… Big thanks and big hug for you.. thanks for all. Thanks that you have spent your free time for while just for teaching me English… I hope I can improve my English better than before….

Tuesday, September 24, 2013

Jahanam! Aku perempuan pembunuh…!!!!!!!!




Image taken from  liauprut.wordpress.com






By :




Panggil saja aku Dara,  aku mengenal Rey dari salah seorang sahabat. Parasnya yang manis dan berbadan tegap membuatku jatuh cinta, sejak saat itu pandangan demi pandangan mengalir deras dari pelipis mata kami. Setelah satu bulan kami intens berkomunikasi lewat sms dan telpon, awal bulan kedua Rey mengungkapkan isi hatinya kepadaku. Entah seperti dibius berpuluh jarum suntik akupun tak menolaknya dan malam itu menjadi malam yang sempurna bagiku.



Suatu malam di bukit ilalang kami menghabiskan senja dibalik rerimbunan rumput liar, entah malam itu Rey merayuku dengan alunan suaranya yang membuatku tak berdaya.  Aku tidak tahu bagaimana mulanya. Kudengar napas Rey di telingaku. Entah kekuatan apa yang dia punya, malam itu aku hanya bisa diam, saat kecupnya jelajahi leherku, aku hanya mampu tergetar dan makin memeluknya. Aku menikmati setiap sentuhan-sentuhannya. Jantungku tersentak dan berdenyut kencang, Jari jemarinya perlahan menyentuh setiap jengkal daerah erotisku. tubuhku tersentak oleh denyut jantungku sendiri. Aku terkikis dalam setiap lumatannya. Tuhan malam itu aku serahkan mahkota suciku untuknya.

Aku bukan lagi dara yg lugu, yang selalu bergelanyut manja di lengan bunda. Aku bukan lagi Dara putri bunda yang selalu manja dipangkuannya. Aaahhhhh.. malam itu babak baru dalam kisah ku!
Penyesalanku mengikuti setiap hariku.  God, apa yang sudah aku lakukan?? Dimana Rey sekarang?? Setelah malam itu Rey menghilang. Semua nomer Hand phone yg aku punya tak bisa dihubungi, aku tanyakan ke semua temannya, satupun tak ada yang tahu dimana lelaki itu.
Hatiku hancur, aku hanya bisa managisi kebodohanku, aku terjebak dalam labirin yang aku ciptakan sendiri. Sekarang harus bagaimana?? Menangis dipangkuan bunda untuk hal ini?? Jelas tak mungkin! Terbayang wajah kecewa bunda jika aku ceritakan semua ini. Tidak! Aku takut!

Tuhan…

Aku gelisah, biasanya awal bulan saatnya aku mendapat mentruasiku. Tapi sudah dua minggu beranjak tanda-tandanya pun tak ada!
Bagaimana aku akan mengatakan hal ini jika saja benar ada benih tumbuh dirahimku.
Entah malam ini hatiku bergejolak, beribu pertanyaan hinggap. Akupun berlari menuju apotek dekat rumah untuk membeli test pack, aku HAMIL !! aku HAMIL !! itu kenyataan yg harus aku terima. AKU HAMIL DAN REY RAIB ENTAH DI BELAHAN BUMI SEBELAH MANA LAKI-LAKI ITU SEKARANG BERPIJAK.!

Awal proses aku menjadi seorang PEMBUNUH !
Entah, rasa berdosaku pada bunda, rasa penyesalanku telah menghancurkan hatinya membuatku taat melakukan apa yang bunda mau. Bunda memang lembut, tapi bunda selalu membatu saat jiwanya menyentuh ranah lelaki. Rasa kecewa terhadap  ayah, membuatnya menjagaku ketat dari dunia adam. Dia tak ingin aku alami luka yang sama, hanya itu alasannya.

Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa. Ingin kuadukan kepada Bunda, menceritakan semuanya, namun aku tidak sanggup untuk melakukannya. Aku tak sanggup menyakiti hati Bunda. Aku tak sanggup membunuh harapan – harapan Bunda terhadapku. Aku tak sanggup melihat linangan air matanya. Oh Tuhan. Aku tak sanggup. Namun, aku lebih tak sanggup lagi kalau aku menghadapi kenyataan ini sendirian.
Dengan perasaan campur aduk, antara takut, sedih dan bimbang, aku memberanikan diri untuk menceritakan semuanya kepada Bunda. Air mata bunda tak terbendung lagi. Aku tak sanggup lagi meneruskan ceritaku, namun Bunda menguatkan aku untuk menyelesaikannya. Dengan terbata bata aku ungkap semua dengan sempurna. Aku lihat Bunda terkulai lemas. Aku menyesal. Benar – benar menyesal, batinku saat itu.
Suasana sempat hening sejenak, sampai Bunda memintaku menggugurkan janin yang sekarang ada di perutku.   Oh Tuhan, benarkah Bunda memintaku  menjadi  PEMBUNUH????


Berbagai perasaan aneh hinggap dalam hatiku waktu aku menginjakkan kaki di ruangan itu. Ruangan yang nantinya akan menjadi tempat eksekusi bagi janinku. Aku datang bersama Bunda. Nampak sekali wajah cemasnya.


Mbah Surti nama dukun itu, mengajakku aku  masuk ke dalam ruang  yang hanya diterangi sebuah lampu minyak kecil. Bau anyir yang tercium dari dalam ruangan itu semakin membuatku merinding dan takut.
Mbah surti memintaku  minum ramuan yang sudah dipersiapkannya. Ramuan itu mempunyai bau yang aneh.  Mual sekali perutku saat aku harus meneguknya. selang beberapa saat, aku merasakan sakit yang luar biasa dalam perutku. Sakit seperti ditusuk – tusuk pisau. Aku mengerang kesakitan. Bunda menangis melihatku kesakitan seperti itu. Makin lama sakit yang kurasakan semakin menjadi, Mbah surti menghampiriku  memegang perutku perlahan, mengurutnya, perlahan lahan. Semakin lama urutan di perutku semakin kuat dan lebih kuat. Aku mengerang kesakitan. Duh, Gusti sakiiiitt… Teramat sangat sakit. Aku mengeluarkan banyak darah, tapi belum selesai mbah surti mengurut perutku. Tidak lama kemudian Mbah Surti memasukkan 3 batang pohon singkong, ke dalam vaginaku. Oh Tuhan. Siksaan apa lagi ini, batinku saat itu. Dengan leluasanya mbah surti memainkan alat eksekusinya ke dalam vaginaku, menembus sampai mengoyak isi rahimku. Sakit yang aku rasakan sudah tidak dapat aku gambarkan lagi. Darah yang keluar kali ini disertai dengan gumpalan daging. Darah yang keluar dari vaginaku semakin banyak. Tidak cukup sampai di situ saja mbak surti menyiksaku. Setelah dia mengeluarkan alat dari vaginaku, mbah surti kembali mengurut perut bagian bawah. Urutan pada perutku kali ini lebih kuat dari sebelumnya. Aku sudah tidak punya tenaga lagi untuk mengerang. Tenagaku sudah terkuras habis. Sakit yang kurasakan sudah diambang batas toleransi. Sayup  masih terdengar suara isak tangis Bunda. Namun, semakin lama suara itu semakin menghilang. 



Aku tidak medengar suara apapun!Senyap.. sangat senyap., tubuhku ringan tanpa rasa! Sakit? Dimana kesakitanku?? . Aku lihat Bunda  duduk di sampingku  menangis mengguncang – ngguncang tubuhku, mbah surti  membereskan peralatan yang dipakai dalam pengeksekusian janinku,  aku  melihat darah dan gumpalan daging yang masih segar. Oh Tuhan, aku seorang pembunuh!! .Sesal, sedih dan marah berkecamuk dalam dadaku. Namun  Semua sudah terlambat! Sangat terlambat! Aku telah menjadi jasad.  Ragaku telah berselimut Kafan







[FiksiHoror] Aura Mistis Rumah Ki Dalang




Image taken from www.layoutsparks.com



Tidak seperti biasanya, suasana di Desa Rangkat akhir-akhir ini begitu mencekam. Apalagi pada malam Jumat Kliwon seperti malam ini. Dari selepas maghrib tadi sampai menjelang tengah malam, lolongan anjing terus terdengar saling bersahut - sahutan. Lolongan yang lebih mirip dengan lolongan Serigala. Belum lagi aroma kemenyan yang semerbak dimana-mana, makin membuat bulu kudu merinding.

Pos ronda pun yang biasanya selalu diramaikan oleh guyonan dan penuh ejekan dari bujang - bujang Desa Rangkat juga terlihat sepi. Hanya terlihat mas Hans dan Dorma yang sedang asyik bermain catur.
Aku sendiri baru pulang lembur dari Kantor Desa. Ketika melewati rumah Ki Dalang Edi Siswoyo, aku merasakan sesuatu yang aneh. Ada bau kemenyan yang sangat menyengat ketika aku melintasi rumahnya. Juga suara - suara aneh yang terdengar dari dalam rumahnya. Tanpa menoleh, aku langsung bergegas menjauh dari rumah Ki Dalang.

Sewaktu melewati pos ronda, aku menghampiri mas Hans dan Dorma yang sedang asyik bermain catur.
“Mas Hanssssssss…….mas Hansss..mas Hansss……,” panggilku gemetar.
“Acik, kamu kenapa sih…? Kayak orang habis melihat hantu aja…… Ada apa sih…?? Kamu habis lihat hantu di mana…?” tanya mas Hans ikutan panik.
“Kalian merasa aneh nggak sih, dari mulai selepas maghrib tadi sampai sekarang ini……? Ada yang aneh kayaknya di desa ini,” jelasku pada mereka dengan pandangan ketakutan.
Sambil saling berpandangan, Dorma dan mas Hans mengangguk bersamaan.
“Iya… bener, Cik. Sejak tadi aku mencium bau Kemenyan terus, sampai - sampai aku merinding. Mana lolongan anjing nggak mau berhenti lagi, lebih mirip lolongan serigala,” sahut mas Hans.
“Terus semakin malam bau Kemenyan itu semakin menyengat. Hidddiiiiiiiiiiiiiihhhh…… takuuuuuuuuuuuuuuuuuuttttttttt…… ” sahut Dorma sambil menggirdikkan tubuhnya pertanda dia juga mersakan hal yang sama.
Suasana hening sejenak. Kami bertiga semakin ketakutan. Bau kemenyan semakin menyengat, diselingi lolongan anjing yang semakin menakutkan. Kami saling berpandangan, dan tanpa dikomando serentak kami menyebut satu nama dengan berbisik.
“Ki Dalang Edi Siswoyo……!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!”

******************************************************************************

Beberapa hari terakhir ini memang santer terdengar kabar, bahwa Ki Dalang Edi Siswoyo menunjukkan gelagat yang aneh. Hampir tiap malam Jumat, dari rumahnya selalu tercium bau Kemenyan. Juga seringkali terdengar suara-suara aneh dari dalam rumahnya. Dan keesokan harinya, selalu saja ada warga Desa Rangkat yang kesurupan.

Tiba-tiba  mas  Hans menunjuk kearah rumah Ki Dalang Edi Siswoyo sambil berteriak kencang.
“Hantuuuuuuuuuuuuuuu…………!!”


Aku menoleh mengikuti arah telunjuk mas Hans. Sesosok bayangan putih mendekat kearah kami. Tenggorokanku tercekat, hingga tidak bisa berkata apa-apa. Tanganku berusaha menggapai pundak mas Hans. Tapi ternyata mas Hans sudah lari tunggang langgang sambil menggendong Dorma dibelakangnya. Pentungan mereka terjatuh di tanah. Tinggal aku sendiri yang berdiri mematung dalam ketakutan.
Aku hanya bisa memejamkan mataku dalam kepasrahan. Kucoba mengingat semua doa-doa yang aku hafal. Tapi mungkin karena terlalu ketakutan, doa-doa yang ku lafadzkan terucap tidak beraturan. Aku merasakan bau yang sangat anyir dan amis menusuk hidungku. Bau mayatkah ini?
Aku berusaha berteriak dengan sisa-sisa tenagaku. Tapi susah sekali rasanya mengeluarkan suara dari tenggorokanku. Hingga akhirnya……

“Toloooooooooong…… Jangan ganggu…… akk…… akkuuuuu………,” akhirnya suaraku keluar juga.
Tapi kenapa ada mbak Asih, kakak perempuanku dihadapanku? Disebelahnya juga ada mas Erwin si bocah ingusan, suaminya mbak Asih.
“Acik……, bangun sayang. Kamu mimpi buruk, yah……?” tanya mbak Asih sambil memelukku.
“Makanya jangan kebanyakan nonton film Mak Lampir……” sambung mas Erwin sambil keluar kamarku, meninggalkan kami berdua.

Akupun sadar bahwa aku tadi hanyalah mimpi belaka.

“Tapi tadi mimpinya terasa nyata sekali, mbak. Aku mencium bau amis dan anyir,” kataku pada mbak Asih.
Mbak Asih tersenyum geli sambil menyahut.
“Itu bau amis dan anyir berasal dari bajunya mas Erwin. Kakak iparmu itu dari tadi sibuk memilih-milih Kepiting Soka. Pagi ini Kepitingnya mau dikirim ke kota”.
Kulirik jam dinding dikamarku, pukul satu dini hari.
“Sana ambil wudhu, terus sholat malam biar tidurmu tenang. Mbak mau bikinkan kopi buat Hansip yang jaga,” kata mbak Asih seraya meninggalkanku.
“Iya, mbak. Ntar biar aku aja deh yang nganterin kopi ke pos Hansip,” sahutku seraya ikutan keluar kamar untuk berwudhu dan melaksanakan sholat malam.

Dua teko kuletakkan di atas nampan. Satu teko berisi kopi hitam untuk mas Hans. Dan satu teko lagi berisi cokelat panas untuk Dorma. Tak lupa sepiring martabak telor ku persiapkan. Di pintu depan aku bertemu mas Erwin yang masih sibuk memilih-milih Kepiting Soka.
Jarak rumahku dengan pos Hansip sangatlah dekat. Bahkan saking dekatnya suara Dorma yang mengunyah kuwaci kadang-kadang bisa kedengaran dari kamarku. Di pos Hansip kulihat pasangan Hansip itu sedang asyik main catur. Meskipun cuma berduaan, tapi suaranya sangat berisik.
Tak ada keanehan dan keganjilan. Aku salut pada kedua Hansip yang selalu bergadang ini. Apalagi pada Dorma si Hansip cewek yang pemberani ini. Mereka enjoy dengan tugas pengamanannya. Tak ada raut ketakutan di roman muka mereka, meskipun harus melewatkan malam diluar rumah. Karena memang tak ada yang perlu ditakuti. Apalagi di tengah-tengah desa Rangkat yang tentram ini.
Namun, masih terekam jelas di benakku mimpiku barusan yang seolah - olah nyata. Awalnya aku merasa yakin, kalau memang ada keganjilan di rumah Ki Dalang Edi Siswoyo. Suara - suara lolongan itu masih terngiang jelas di telingaku. Masih dengan penuh penasaran, aku membulatkan tekadku untuk mengendap - endap ke rumah Ki Dalang Edi Siswoyo setelah aku mengantarkan minuman dan makanan untuk Mas Hans dan Dorma. Dengan dibekali sisa - sisa keberanianku, akhirnya sampai juga aku ke rumah Ki Dalang Siswoyo. Aura penuh kemistisan sudah terlihat dari jarak 10 langkah ke rumahnya. Aku merasakan merinding yang teramat sangat begitu kakiku semakin mendekati kediamannya. Bau anyir campur kemenyan semakin lama semakin tajam, ditambah lagi aku melihat ada kepulan asap keluar dari rumah Ki Dalang. Rasa penasaranku semakin menjadi - jadi. Kuberanikan diri mengintip lewat jendela. Apa yang kulihat benar - benar membuat persendianku lemas seketika. Dalam penglihatanku yang Cuma dibantu oleh sinarnya bulan purnama, terlihat Ki Dalang sedang melakukan ritual yang aku sendiri tidak bisa menggambarkannya dengan jelas. Aku hanya bisa melihat asap menari - nari seoalah - olah mengikuti alunan mantra dari Ki Dalang. Terdapat juga sebuah cawan yang berisikan air berwarna agak gelap, aku manafsirkannya seperti darah kental segar. Aneka macam kembang juga melengkapi ritual yang dilakukan Ki Dalang. Sesekali kulihat mulutnya komat - komit sambil meminum air yang ada dalam cawan tersebut, kemudian Ki Dalang menyemburkannya dengan sekuat tenaga. Setiap kali Ki dalang menyembur terhadap sosok yang tidak terlihat di depannya, terdengar suara rintihan yang begitu membuat telingaku berdenging kesakitan. Entah apa yang dilakukan Ki Dalang sebenarnya, aku masih belum bisa mendapatkan jawabannya. Ingin hati menceritakan semua yang barusan aku lihat kepada mas hans dan dorma, tapi aku urungkan niatku seketika itu juga.

Tanpa kusadari dari tadi, ternyata ada bayangan di balik pohon besar yang ada di samping rumah Ki Dalang. Bayangan hitam seperti orang sedang memakai jubah warna hitam, besar dan tinggi. Semakin lama, bayangan itu mendekati memasuki rumah Ki Dalang. Bebarengan dengan itu, sahutan lolongan anjing menambah suasana mistis rumah Ki Dalang Edi Siswoyo.

Kolaborasi Malam Jumat di Pos Ronda


Kolaborasi :

Jalan Keabadian

By : Aciek
No : 37
“Semuanya sudah sempurna, Prita. Tidak ada lagi yang bisa menghalangi niat suci kita. Kita tinggal nunggu tepat tengah malam nanti di saat posisi bulan sabit. Perfecto!!!!! Aku tidak sabar menunggu waktu itu tiba. Kamu, aku akan abadi selamanya dalam ikatan suci. “

Sunyi senyap di kamar Prita, hanya terdengan bunyi dentingan jam di kamar Prita  yang berhenti pada hitungan sebelas , menunjukkan waktu Prita tinggal satu jam lagi untuk bersiap - siap menuju tempat yang sudah diinstruksikan oleh Bob tiga jam yang lalu. Tempat di mana Prita dan Bob akan mewujudkan janji suci mereka. Yahh…. Bob sudah mempersiapkan semuanya, tepat di tanggal 13 tengah malam saat posisi bulan sabit, mereka akan menuju suatu tempat keabadian menurut imajinasi mereka.
Di tempat yang sudah ditentukan oleh Bob sebelumnya, terlihat Bob dengan balutan busana setelan jas putih bersih, di bawah cahaya lilin yang remang - remang terlihat begitu gagah. Aura magic begitu terasa kental ketika memasuki ruangan tersebut. Di setiap sudut ruangan terdapat rangkaian bunga melati yang dikelilingi dengan lilin berjumlah 13 buah. Wangi semerbak memenuhi ruangan, namun bukan wangi seperti bunga melati pada umumnya melainkan wangi bercampur aroma amis dari darah  yang telah dipersiapkan oleh Bob dalam cawan - cawan perak. Sambil menunggu kedatangan Prita, Bob mengintip di balik tirai jendela, melihat bulan sabit di angkasa dengan senyuman penuh kemenangan. Tidak selang berapa lama, terdengar bunyi langkah kaki mendekati ruangan.

Perlahan pintu terbuka. MuncuL sesosok wanita anggun dengan gaun indah berwarna putih senada dengan setelan baju yang dikenakan Bob. Yah…,Prita, wanita yang sudah sejam yang lalu ditunggu - tunggu oleh Bob, untuk melabuhkan cintanya.

” Mendekatlah, sayang. Semua sudah aku persiapkan untuk perjalanan kita. Waktu kita Cuma tinggal 15 menit untuk menjadikan cinta kita sempurna.” Ucap Bob, sambil menggiring Prita ke depan altar.

Tanpa ragu sedikitpun, Prita mengikuti apa yang barusan diperintahkan oleh Bob.
Di depan altar, Bob memberikan cawan yang berisi darah kepada Prita. Di dalam ruangan yang hanya bersinarkan 13 lilin, Bob membisikkan sesuatu ke Prita.

” Sayang, cinta kita indah, cinta kita suci, namun semua tidak bisa kita satukan dalam dunia nyata, karena jurang keyakinan kita yang memisahkan. Hanya dengan cara seperti ini, semoga cinta kita akan tetap abadi selamanya. Kamu tau apa yang ada di dalam cawan yang kamu pegang??? Itu adalah darah yang aku ambil dari 13 wanita yang masih perawan. Hal ini kulakukan, karena merupakan syarat agar kita bisa kekal abadi di alam sana dalam balutan cinta kita yang suci. Prita, waktu kita tidak banyak, segera kita selesaikan ritual kita. ” jelas Bob sebelum melakukan ritual.

Tanpa membuang waktu lagi, segera Prita meminum cawan berisi darah 13 perawan, berikut diikuti dengan Bob. Setelah selesai dengan ritual tersebut, mereka saling berpelukan, dan saling menusuk perut mereka dengan pisau, sebagai tanda akhir dari ritual mereka. Mereka pun mati dalam pelukan bersimbah darah. Wujud dari kesempurnaan cinta mereka yang tidak bisa terjalin dalam dunia nyata.

2-2-2012


Lis, malam ini berjalan terlalu lama. Bintang-bintang itu, lihatlah, sepertinya mereka sedang menertawakanku yang duduk di beranda tua ini dengan sebatang rokok putih…

Depo, 1.2.2010

Chheeerrrrssss. Gracias muchas, Lis. Malam ini, di bawah temaram bulan yang malu-malu dia mengungkapkan cintanya dalam kata lembut padaku. Di bawah temaram bulan ini, Lis, hhhmmmmmhhhh… Aku merasa diriku sungguh ada… ada, Lis… ada…

Depo, 2.2.2010

Lis, ini hari pertamaku… uuhhh… mata itu, bibir itu, rambut itu, tangan itu, setiap inci dirinya membayang di bilik ingatankku… Selamat malam, Lis…

Depo, 3.2.2010

2.2.2011

Lembayung senja masih nanar di garis rel kereta tua gudang-gudang pupuk Depo Indah. Waktu bergulir cepat, setahun sudah langkah-langkah kisah cinta Rena dan Ben. Pengalaman mereka terekam pada kursi-kursi Stasiun Tawang. Kecup dan kata rayu-manja tersisa pada sudut-sudut Kota Lama Semarang. Rena selalu riang setiap kali Ben mengajak ke Restoran Ikan Bakar Cianjur di depan kantor pos tua. Tempat maka itu menjadi favorit Rena karena disitulah Ben mengecup keningnya untuk pertama kali sebagai hadiah ulang tahunnya. Ya. Tepat, lima hari setelah Ben menyatakan cinta padanya. Tepat, hari itu, Rena berulang tahun dan mendapatkan hadiah istimewa dari Ben, sebuah kecupan manis, hangat, dan lembut, sekaligus guan merah kirmizi yang menawan. Momen roman itu terus terngiang-ngiang dalam pikiran Rena.
Malam ini, Ben datang ke rumah Rena untuk mengajaknya ke Restoran Ikan Bakar Cianjur lagi untuk merayakan hari istimewa. 2.2.2011, hari ini, Rena dan Ben merayakan satu tahun hari jadi mereka. Hari istimewa ini ingin mereka pakai untuk memutar kenangan mereka, melihat kembali jejak-jejak kasih yang telah mereka buat. Ben datang dengan setelah kaos denim coklat rapi, memesona.
“Permisi, Bu, selamat malam, saya mau bertemu Rena, apakah dia ada di rumah? Kami sudah janjian untuk pergi bersama malam ini ke Restoran itu lho, Bu, ikan bakar…” sapa Ben, setibanya di muka rumah Rena dan disambut Ibu Rena.
“Oh, sumangga karsa, masuk dulu lha, Ben… itu Bapak lagi baca koran, ngobrol bentar deh… Rena pasti masih dandan… walah cah bagus… kok rapi bener…” tanggap Ibu Rena.
“Hmmm… ya Bu makasih, saya masuk ke dalam ya Bu…”
La da lah… ndak usah malu-malu, masuk aja, anggap rumah sendiri…” balas Ibu Rena ramah.
“Oh, Ben, mari… mari… silahkan duduk dulu, itu Rena masih di dalam, pastinya lagi macak… biar cantik…” ujar Bapak Rena.
“Terima kasih, Pak. Gimana kabarnya nih Pak, akhir-akhir ini? Lancar pak bisnis ikan air tawarnya?”
“Lho, ya baik to ya. Lancar, Ben. Seperti biasalah… pelanggan banyak… tapi ndak tahu itu, sekarang kok banyak jamur ikan… hadduhhh…”
“Oh, itu perlu dibelikan obat, Pak. Mau saya carikan?”
“Ndak usah, Ben. Ndak usah repot-repot. Gampanglah… Reeeennnn… dah ditunggu lho… cepetan… ndak usah lama-lama…” seru Bapak Rena ke arah kamar tengah, mengundang anak putrinya semata wayang.
Lis, dia sudah datang, pasti rapi, pasti manis, pasti senyum simpulnya terselip di lesung pipi kirinya, pasti… pasti Lis… malam ini akan jadi malam istimewa… Lis, ayoooo, ceepeetan, kita berangkat…
Depo, 2.2.2011
Hhhhhmmmmmfffhhhmmm…
“Iyaaaaa… Pak… bentar…” balas Rena sekenanya.
Dari balik tirai ruang tengah, Rena keluar dengan gaun biru muda dan sepatu biru laut dari butik teman SMA-nya. Wajah bapak agak sedikit membelalak saat matanya memandang putrinya yang sudah jadi gadis muda ini.
“Hmmm… peerrrffeeekkk… anak bapak memang cantik…”
“Halah… apa to pak… biasa aja…”
“Ren, kamu memang terlihat istimewa kok…” puji Ben, sambil menatap Rena.
“Hmmmhhmmm… yang bener lho?”
“Serius… Yuk berangkat… Pak, saya mohon pamit pergi dengan Rena. Kami akan pulang sekitar jam delapan ya Pak… minta izin…” kata Ben sopan.
“Oh… ya… silahkan… hati-hati di jalan ya…”
“Nduk, hati-hati lho… Ben, bawa motornya ndak usah kenceng-kenceng ya…” kata Ibu Rena lembut, penuh perhatian.
“Pak, Bu,… Rena pergi makan keluar dulu ya… muaccchhh….”
Ben menggandeng tangan Rena mesra, berjalan pelan menuju motornya. Ben naik duluan, lalu Rena menyusul di belakangnya.
“Sudah… okey…”
“Yuk…” kata Rena pelan.
Lis, kita makan ikan bakar. Kita mengenang hari jadi itu. Kita berdua saling kecup. Lis, malam ini, istimewa…
Hmmmffffhhhmmm… enak betul, Ren…kalau aku sih biasa saja…karena ada tirai yang kamu tak mengerti… ha ha ha ha ha
Lihat, Lis… Nyala lilin itu, romantis kan, teduh kan, berpadu dengan setelan coklat Ben. Malam ini malam kita, Lis..
Jelaslah…
.
Malam ini menjadi malam yang istimewa bagi Rena. Ben memesan meja di sudut ruangan, kaca luar menghadap seluruh bangunan kota lama, ditambah lilin-lilin kecil putih yang menyala di atas meja.
“Ben… makasih ya untuk semua ini…”
“Ah… ini kan malam istimewa kita Ren… hhhmmm…” deham Ben terakhir mengisyaratkan sesuatu. Ada hal yang mendesak ingin keluar tapi masih dibendung. Ben berusaha menahan kata-katanya.
“Ada apa Ben, kok kayaknya ada yang kamu pikirkan dan ingin katakan?”
Ben terlihat agak murung, berbeda dari Ben yang tadi tiba di rumah Rena. Ada ganjalan yang ingin diungkapkan, dikatakan pada Rena. Namun, dia tampak ragu dengan uraian kata yang mungkin akan menjadi berita tidak menyenangkan bagi Rena.
“Ren…”
“Apa Ben… omong aja ndak pa pa kok…”
“Ren, lima hari lagi… hhhmmm… lima hari lagi aku pindah kerja, Ren… aku akan berangkat ke Surabaya…” Ben tertunduk gelisah.
“Lha… ndak masalah dong Ben, kan kita masih bisa kontak lewat ha-pe…”
“Hmmm…”
“Kamu ndak di Surabaya terus kan? Masakan ndak ada waktu untuk liburan pulang ke Semarang?”
“Itu dia Ren… aku dapat tempat tinggal di sana, semua disediakan perusahaan…”
“Ben… kalau begitu, aku kan masih bisa main ke sana…”
“Yahhh… semoga tetap berjalan lancar Ren…”
Malam ini, mereka pulang dalam diam. Rena masih bingung kenapa kepindahan Ben ke Surabaya terlihat begitu berat. Padahal baginya, itu bukan suatu masalah. Rena merasa itu hanya hal biasa, kepindahan kerja, toh bukan hal yang bisa menghancurkan hubungan mereka. Rena tidak melihat ada permasalahan atau problem pada titik ini. Semua masih bisa berjalan lancar dan beres pastinya. Komunikasi masih bisa berjalan. Saling bagi cerita masih bisa lewat telepon selular atau jejaring sosial.
Di bawah langit malam, Ben tampak kurang bersemangat. Ada sesuatu yang masih disembunyikannya dan tidak ingin dia katakan pada Rena.
Lis, aku bingung pada Ben. Ada yang janggal padanya malam ini. Padahal malam ini kan malam peringatan hari jadi kami… Kenapa ya… Apa karena dia akan pindah ke Surabaya… Tapi, aku ndak melihat masalah di sana kok…

Depo, 2.2.2011, Malam

Sudah kukata padamu, ada yang tak kamu mengerti dan pahami… kasihan betul…

5.2.2011

Lis, ini hari ulang tahun… Tidak ada kabar apa pun dari Ben. Tidak ada hadiah dengan kartu pos cantik dari Ben, seperti waktu itu. Hari ini Ben berangkat dan hanya berkirim sms padaku bahwa dia sudah pergi pagi-pagi tadi…
Halah, ga usah manja Ren… Kenapa harus bingung… gampanglah, nanti, suatu saat, pergi maen saja ke rumah dinas Ben di Surabaya…langsung datang, semprot di tempat, laki-laki ga tau malu dia…
Iya juga sih, Lis… Tapiiiii…
Kita buat kejutan aja buat Ben, tiba-tiba datang ke Surabaya tanpa beri kabar. Berani ga? Kamu tahu alamatnya kan?Langsung tanpa ba bi bu, tanyai keputusannya…
Itu dia, Lis… aku ga sempat tanya alamat dan dia juga tidak mau memberi alamatnya. Ben bilang tempatnya jauh dan ndak usah ke sana, nanti aku nyasar… tunggu liburan saja, begitu katanya…
Rena… Rena… polos banget sih, kamu bukan anak kuliahan lagi Ren, ya tanya dong ke kantor Ben yang di pusat Kota Semarang itu. Lah ya dicoba segala cara… Jangan-jangan memang ada yang disembunyikan Ben. Jangan-jangan dia sudah punya kekasih yang lain. Atau, jangan-jangan selama ini, kamu memang belum sungguh mengenal dia, Ren… ha ha ha ha ha ha kasihan sekali kamu, Ren….
Ahhh… kamu omong apa sih, Lis…
Lha, ya terserah aku… terserah kamu… terserah aku… ha ha ha ha ha ha ha
Rena duduk di muka jendela kamarnya. Diam. Bisu. Pikirannya melayang-layang pada bayangan Ben yang tidak sempat diantar, bercakap sejenak, maupun mengucap perpisahan. Ben berlalu begitu saja seolah tidak ada yang dia tinggalkan, seolah tidak ada Rena.
Angin sejuk siang itu menerpa pipi Rena yang mulai basah air mata. Berbagai pertanyaan kalur membuncah dalam benak Rena. Kenapa, kenapa, dan kenapa saling terjang dalam pikirannya. Kenapa tiba-tiba Ben berubah sedemikian cepatnya? Ada kebingungan dan kegelisahan yang tak terjawab.
Lis, aku kepikiran maen ke Surabaya deh, minggu depan…
Lha, ya terserah aku… terserah kamu… terserah aku… ha ha ha ha ha ha
Sampai pada harinya, minggu itu, Rena tetap diam di Semarang. Dia tidak berani ambil langkah ke Surabaya. Ben tetap hilang dalam kegelapan tanpa kabar. Bingung. Kalut. Resah. Segala perasaan campur aduk dan mengendap pada hidup harian Rena.

2.2.2012

Lis, ini hari istimewa yang sepi… Telepon Ben tidak pernah diangkat selamat setahun ini. Aku hanya mendengar nada tunggu, lalu hilang…

Depo, 2.2.2012, Pagi

Orang tua Rena melihat perubahan besar dalam diri anaknya. Mereka sering bertanya soal Ben tetapi Rena tidak banyak kata tentang hal ini. Mereka kira Ben sudah putus dengan Rena. Nyatanya, Rena tidak bilang kalau mereka sudah putus. Dia hanya bercerita bahwa Ben sudah pindah ke Surabaya. Selebihnya, nihil percakapan tentang Ben. Rena memilih diam dan kadang pergi ke luar, main ke mall atau cafe.
Setahun telah berjalan dalam kehilangan sosok Ben. Setahun pula berjalan dalam ketakutan untuk datang mengunjungi Ben di Surabaya. Rena tidak ingin mengganggu kesibukan Ben. Dia juga tak ingin menjadi penghalang untuk karir yang sedang dijalani Ben. Namun, mengapa Ben harus hilang-lenyap begitu saja tanpa ada komunikasi atau cerita lagi? Jika memang hubungan mereka berakhir, mengapa Ben tidak menyatakan secara tegas keputusan ini? Seolah, Rena berpikir, masih ada yang disembunyikan Ben dari dirinya.
Rena… kasihan sekali kamu… hanya diam, diam, dan diam… konyol…
Lis, mengapa kamu tidak memberi jalan keluar atau sesuatu yang meneguhkan…
Lha kan soal Ben bukan persoalanku, kamu sendiri yang jalani, kamu yang jatuh cinta ke dia, kamu suka, kamu yang berduaan, kamu yang dikecup…
Lis… aaaaaaccchhhhh…
Ren… apa sudah kamu putuskan…
Sudah, Lis… hari ini aku akan segera terbang ke Surabaya…
Lis, ya silakan saja sana… kan itu bukan urusanku…
Ada dorongan besar dalam diri Rena untuk pergi ke Surabaya. Dia ingin sebuah kejelasan, kepastian tentang hubungannya. Dia tidak ingin terkatung-katung begitu saja tanpa keputusan dari Ben.
Rena sudah dapat alamat rumah dinas dari kantor Ben di Semarang. Dengan bantuan kenalannya di salah satu maskapai pesawat, Rena segera mendapat fligth siang ke Surabaya. Hatinya kalut, berdebar-debar kencang, memikirkan apa yang akan dikatakannya kepada Ben. Namun, dia pun memikirkan apa tanggapan Ben tentang kedatangannya ke Surabaya. Entah, dia tidak tahu dan tidak dapat meramalkan kejadian yang menunggunya di depan nanti. Harapannya hanyalah satu mendapat kepastian dari Ben dan lepas dari suara-suara yang berdengung dalam kepalanya.
Ada apa ini, kenapa tiba-tiba semua terasa gelap dan membingungkan.
Liss… di mana kamu…Lisa, kenapa tiba-tiba jadi gelap seperti ini… Lis… Lis… apa kita sudah sampai di Surabaya… mana Ben…?

Surabaya, Rumah Dinas Ben

Ding dong…
Ding dong…
Ding…
Ceklrek!!!
“Eh, Lisa, sudah lama aku menunggu kamu lho… gimana kabar Rena…?”
“Ha ha ha ha ha ha, Rena baik-baik saja di dalam… tidur panjang dan tenang…”
“Lis… Lis… apa memang sulit untuk sepenuhnya hadir begini…”
“Bukan sulit, Honey Ben… cuman, ga tega… ha ha ha ha ha ha”
See you, Ren.. Thanks for your Ben… .
Dan sepasang manusia itu masuk ke dalam rumah.


Johar Baru, 2012

Ketika Berada dalam Persimpangan


Image : llmii.wordpress.com



“ Banyak orang bilang, Hidup adalah ujian, berani untuk memilih dan mengambil resiko. Memilih untuk bahagia, menderita semua adalah pilihan. Bad or good, who knows. Semuanya adalah Pilihan”.


Cantik, pintar cerdas dan bersahaja. Tidak ada kurang suatu apapun pada dirinya. Orang bilang sempurna. Namun, siapa sangka dalam kesempurnaannya sebagai wanita, ada hal yang begitu membuat dirinya menderita. Hal yang begitu menakutkan dan membuat Risa semakin tenggelam dalam kesedihannya lebih dari dua tahun terakhir ini. Yah.. kurang lebih dua tahun terakhir ini kesibukan Risa semakin padat. Tidak hanya sibuk oleh dunia kerjanya melainkan kesibukan Risa harus hilir mudik ke Rumah Sakit seminggu tiga kali. Hal yang terakhir inilah yang membuat Risa kehilangan semangat hidup. Ibarat tanaman, tumbuh subur namun tak lagi berbunga.


“ Sudahlah, nak. Apa lagi yang kamu cari di sana??? Kami di sini kesepian, kami di sini selalu khawatir dengan keaadaanmu di sana. Kami di sini selalu risau tiap kali tidak ada kabar darimu, walaupun kami yakin kamu baik – baik saja di sana, pulanglah dengan segera, Nak. Uang masih bisa kamu cari di sini, di dekat kami. “ ujar ibu Risa waktu itu.
Masih terngiang jelas ucapan ibu Risa setahun yang lalu, ketika berkali – kali Ibunya meminta untuk pulang kembali ke rumah, untuk menemani hari tua ayah dan Ibu Risa. Harapan orang tua, tentunya menginginkan anak bungsunya tinggal tidak jauh dari rumah, begitupun juga dengan orang tua Risa. Namun, ada hal lain yang membuat Risa selalu menolak untuk pulang ke rumah dua tahun belakangan ini. Ucapan dan tangisan Ibu Risa seolah tidak menggunggah sedikitpun hatinya untuk pulang kembali ke rumah.


“ Bu, bukannya Risa ngga mau pulang ke rumah, nemenin Ibu sama Ayah di kampung, tapi Risa masih ingin ngejar karir Risa. Kalau Risa sukses jadi orang di perantauan, bukankah Ayah sama Ibu juga nantinya bangga sama Risa? Percayalah sama Risa”


Tidak terasa dua tahun telah berlalu semenjak permintaan kedua orang tua Risa untuk pulang kampung lewat telepon. Semenjak hari itu, tidak pernah lagi orangtua Risa mengungkit – ungkit kepulangannya ke kampung.

“Bukannya aku ngga mau pulang ke kampung, bukan. Bukan pula karena alasan karir, aku bertahan di sini, di bumi perantauanku ini. Bukan itu, Bu, alasan utamaku. Aku ngga mau kalian tau kalau sudah lebih dari dua tahun ini tubuhku digerogoti tumor, dan selama itu pula aku intens dengan perawatan. Aku ngga mau ayah dan ibu sedih melihat keadaanku. Anak bungsumu yang dulu cantik, lincah, segar, penuh senyum sekarang sudah layu, Bu. Aku tidak tega Ibu dan Ayah melihat keadaanku sekarang. Maafkan aku, kalau aku membohongi kalian.” Gumam Risa sambil terisak tangis mengingat percakapan dengan orang tuanya dua tahun silam.
Belum selesai Risa bergelut dengan kesedihannya, tiba – tiba Risa mendapatkan kabar dari kampung yang memintanya untuk segera pulang. Ayah risa yang memang dalam beberapa hari terakhir ini kondisi kesehatannya menurun, tiba – tiba kena serangan jantung. Di saat yang sama Risa harus segera menjalani operasi pengangkatan tumor payudara tiga jam setelah mendapat kabar tersebut.


Bagaikan di persimpangan jalan, Risa bergelut dengan gejola hatinya. Menunggu keajaiban dari Tuhan dengan harapan Risa mampu melewati semuanya dengan sempurna???? Hanya Tuhan yang tahu jawabannya.


“Hidup adalah ujian, berani untuk memilih dan mengambil resiko.”

TAKDIR CINTA


“Sampai kapan pun Ibu tidak akan merestui hubungan kalian. Dunia, akhirat, ibu tidak akan berikan restu Ibu. Camkan itu!!!!!!!!”

*****

Risa tertunduk lesu, setelah percakapan dengan ibunya lewat telepon. Tiga tahun  sudah Risa menjalin kisah kasih dengan Ari. Dan baru dua  tahun ini, Risa berani mengajak dan mengenalkan Ari ke Ibunya. Namun, setahun belakangan Risa tidak mendapatkan restu dari Ibunya. Setiap kali Risa menanyakan alasan hal itu , Ibu Risa hanya membuang muka seraya bilang ” Masih banyak Ari - Ari yang lain yang lebih baik dari Arimu sekarang ini, Risa”
*****
Risa, seorang gadis yang hanya tinggal sendirian dengan ibunya. Sejak kecil, Risa tidak pernah mengenal Ayahnya. Dan tidak pula, Ibu Risa menceritakan keberadaan yang jelas tentang sosok Ayah Risa. Setiap kali ditanya pasti jawabannya, “Ayahmu sudah punya rumah baru di Surga, Nak. ” Biarkanlah Ayahmu bahagia di sana.”
*****
Kehidupan  tanpa seorang ayah sejak kecil, membuat Risa menjadi gadis yang tumbuh  mandiri dengan karakter dan kepribadian yang kuat. Mengingat  hanya  seorang ibu yang membesarkan dirinya,  tak pernah sepatah katapun keluar dari mulut Risa yang membuat  hati ibunya terluka. Setiap permintaan ibunya, tidak pernah Risa tolak, sekalipun itu bertentangan dengan kata hatinya. Seperti sekarang ini, menjadi seorang dokter bukanlah keinginan Risa, namun oleh karena tidak mau melihat ibunya kecewa, dengan berat hati dan berusaha ikhlas, akhirnya Risa menuruti kemauan Ibunya.

*****
Yahh…., selama ini Risa tidak pernah menolak apapun permintaan ibunya, sampai Risa bertemu Ari, lelaki tambatan hatinya yang tak  pernah mendapatkan restu dari Ibu Risa.

*****
Pertemuan Risa dan Ari terjadi tidak sengaja. Waktu itu Ari sedang berobat di rumah sakit, dan kebetulan Risa adalah dokter jaga saat itu. Karena  sakit yang diderita Ari waktu itu membutuhkan beberapa kali control, sehingga membuat frekuensi pertemuan mereka sering, hingga  akhirnya terjalin hubungan special diantara mereka.
Tahun ini merupakan tahun ketiga jalinan kasih mereka. Setiap kali Ari datang ke rumah, ibu risa selalu memberikan respon yang positif. Tak ada satu pun dalam diri Ari yang membuat Ibu Risa tidak menyukai sosoknya. Sopan, Mandiri, Bersahaja dan bertanggungjawab. Kriteria calon mantu yang ideal sudah pantas disandang oleh Ari. Namun, ada yang tiba - tiba berubah akhir - akhir ini. Mendadak, tanpa ada penjelasan, Ibu Risa memberikan ultimatum tidak akan memberikan restu untuk hubungan mereka berdua.
“Bu, apa yang kurang dari Ari? Bukankah dari awal Risa kenalin Ari ke ibu, ibu begitu senang, sampai - sampai ibu minta kami segera meresmikan hubungan kami, tapi kenapa sekarang jadi berubah 180 derajat bu? Kenapa bu???Kenapa tidak dari awal Ibu bilang kalau memang tidak merestui hubungan Kami, kenapa baru sekarang bu, kenapa baru sekarang ketika kami mau membangun mimpi - mimpi indah kami. Kenapa, Bu?Risa butuh penjelasan, bu bukan hanya sekedar ultimatum dari Ibu. “
Tanpa penjelasan apapun, Ibu Risa berlalu  meninggalkan Risa dalam diam dan tangisnya.
Sebulan sudah risa berkutat dengan kebingungan atas sikap ibunya terhadap penolakan hubungannya dengan ari. Sampai risa menemukan hal yang tidak pernah  disangkanya.  Yah… sepucuk surat yang tanpa sengaja dia temukan di kamar ibunya.


Teruntuk Istriku,
Sayang, kepergianku bukanlah tanpa sebab. Aku tidak sanggup mengatakan hal ini secara langsung. Aku harus pergi meninggalkanmu, bukan, bukan hanya meninggalkanmu, melainkan meninggalkanmu dan anak kita Risa. Sungguh, sangat berat aku sebenarnya meninggalkanmu dan anak kita. Namun, apa boleh buat. Orang tuaku sampai sekarang tidak menyetujui pernikahan kita, walaupun kita sudah memberikan beliau cucu yang sangat lucu. Walaupun istri pertamaku sudah berusaha untuk membujuk orangtuaku untuk menerimamu dan anak kita, namun beliau tak bergeming. Alhasil, dengan berat hati aku harus meninggalkan kalian dan kembali ke istri pertama dan anak laki - lakiku. Yah… aku masih berharap suatu saat kita semua bisa berkumpul lagi. Paling tidak, aku berharap nantinya aku bisa mempertemukan Ari, anak laki-lakiku dengan adiknya Risa.
Beribu bahkan berjuta kata maaf mungkin tidak mampu menebus semua kesalahanku padamu. Namun, percayalah, aku sayang kalian.
Salam,
Suamimu.


Bagaikan disambar petir di siang bolong, Risa diam tak berkedip membaca berulang-ulang surat yang baru saja dia temukan. Surat dari ayahnya. Yah, ayah yang selama ini disembunyikan identitasnya oleh ibunya. Ayah yang selama ini ternyata telah meninggalkanya, bukan karena meninggal, melainkan karena pernikahan dengan ibunya bukanlah pernikahan yang disetujui. Tidak berhenti sampai di situ saja, jantung risa bedetak. Ari. Tertulis nama Ari dalam surat ayahnya. Entah mengapa pikiran Risa langsung tertuju dengan Ari kekasihnya. Tanpa pikir panjang, Risa langsung mencari ibunya seraya membawa surat yang barusan dia temukan untuk meminta penjelasan.


“Risa mohon bu, penjelasan untuk surat yang barusan risa temukan di kamar Ibu. ” dengan menahan isak tangis, risa menunjukkan surat itu kepada ibunya.
Nampak jelas terlihat keterkejutan di raut muka ibu risa. Namun, dengan tenang, dan perlahan Ibu Risa menjelaskan pada anak semata wayangnya.
“Jadi, Ibu harap, kamu bisa mengerti, kenapa ibu akhirnya tidak merestui hubungan kamu dengan Ari, sayang. Bukan karena ibu tidak suka  dengan sosok pribadinya. Bukan, sayang. Karena hubungan kalian hal yang tidak mungkin untuk dilanjutkan lebih jauh lagi. Ari adalah kakak kandungmu, walaupun kalian dilahirkan dari rahim yang berbeda. Awalnya Ibu tidak yakin,  nama Ari  yang  disebutkan dalam surat  ayahmu itu adalah Ari kekasihmu itu. Namun, lambat laun Ibu semakin yakin, setelah tanpa sengaja ibu melihat Ari berbincang dengan seorang lelaki paruh baya yang dikenalkannya ke ibu sebagai ayahnya. Dan kamu tahu sayang, ayahnya adalah ayahmu juga. “

Hanya isak tangis yang terdengar pada saat itu. Risa tidak mampu lagi berkata apapun. Bibirnya serasa kelu. Batinnya pedih.

“Kenapa, baru sekarang bu, kenapa baru sekarang ibu cerita semua ini, kenapa ibu baru  cerita di saat aku telah mengandung benih cinta Ari dalam rahimku, kenapa Bu?” batin Risa, masih dengan isak tangisnya.