Wednesday, November 12, 2014

Sejejak Rasa



By : Acik Rangkat & Dewa Rangkat 

Image taken from ariomuhammad.com

Tiap manusia pastinya mempunyai masa lalu sendiri – sendiri. Terlepas apakah itu masa lalu yang manis ataupun sebaliknya, hal itu merupakan rangkaian dalam perjalanan kehidupan yang tidak akan pernah terputus. Seperti yang sedang dialami oleh Arika. Entah semua berawal  dari mana. Yang jelas pertemuan tak sengaja itu kembali merajut kenangan – kenangan indah Arika dengan seseorang yang pernah singgah dalam relung hatinya yang paling dalam.  Takdir ataukah kebetulan, Arika  juga tak bisa mendefinisikannya. Atau kebetulan yang terbungkus oleh takdir? Yang jelas, senja di cakrawala menjadi saksi  awal dari semua kisah yang tidak masuk dalam rencana kehidupan Arika.
Sore itu tidak biasanya Arika pulang begitu cepat. Sudah menjadi makanan setiap harinya, tiap kali  pulang kantor pasti selepas isya’. Hari itu Arika pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima,  Arika  sudah berada di lobi kantor untuk bertemu dengan  klien. Sebenarnya, bukan kapasitas Arika  untuk bertemu dengan klien, namun karena atasannya  sedang ada dinas ke luar kota, sebagai sekretarisnya Arika  harus bisa menggantikannya untuk sementara. Arika bekerja sebagai sekretaris direksi di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Sebagai seorang sekretaris ia harus siap setiap saat bila dibutuhkan. Walaupun hanya bertemu dengan klien dan menjadwalkan ulang untuk pertemuan berikutnya. Seperti yang  sedang dilakukannya sore itu. Pertemuan yang hanya berlangsung tidak lebih dari satu jam, namun mampu membangkitkan gejolak kenangan yang telah terkubur empat tahun lamanya.  Sore yang penuh dengan gejolak. Kalimat yang tepat untuk mendefinisikan keadaan Arika.
“Bu Arika, tumben jam segini sudah turun ke bawah?” Sapa mbak Sarti, office girl kantor. Adalah hal  yang aneh buat mbak sarti melihat Arika sudah duduk manis di lobi utama kantor  karena sepengetahuan mbak sarti, Arika hampir tiap hari pulang paling cepat jam 8 malam.

“Iya, mbak Sarti. Ada janjian sama klien bos sore ini. Janjiannya sih tadi di lobi utama kantor, tapi sudah hampir setengah jam nunggu belum ada tanda-tanda penampakan dari klien si bos nih.” Jawab Arika agak kesal sambil terus melihat jam tangan dan sesekali mengecek ponselnya.

“ Sarti buatkan kopi buat Bu Arika ya, sambil nunggu kliennya datang.”. Tanpa ragu, Arika menganggukkan kepala tanda setuju dengan tawaran Mbak Sarti.  Tak butuh waktu lama Mbak Sarti membuat kopi untuk Arika. Dan tidak sampai lima menit Arika pun menikmati kopi buatan Mbak Sarti.

Jelas tampak di wajah Arika, kegelisahan yang tidak jelas. Antara gelisah karena klien yang ditunggunya tak kunjung datang, dan perasaan gelisah yang Arika sendiri tidak bisa mendefinisikan apa artinya. Yahh..perasaan gelisah  yang tiba-tiba menelusup ke dalam relung hatinya. Arika pun berusaha menghilangkann kejenuhannya menunggu dengan sibuk memainkan ponselnya.

“Dengan Ibu Arika?” terdengar suara seorang pria yang tidak asing di telinga Arika. Tanpa menoleh ke arah suara tadi, seketika bayangan masa lalu empat tahun silam kembali tersibak.
Potongan demi potongan peristiwa seolah hadir tanpa ia minta. Ada harapan dalam hatinya semoga sang pemilik suara bukanlah orang yang pernah ia kenal. Arlika perlahan bangkit dari duduknya, membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sumber suara.

“Alvin…” lirih Arika menyebutkan nama pria yang ada dihadapannya. Tubuh Arika nyaris limbung, sekuat tenaga ia menahan berat tubuhnya agak tak terjatuh.
“Maaf sudah membuat Ibu Arika menunggu” ucap lelaki berbadan tegap dengan kulit sawo matang yang ada dihadapannya itu. Arika berusaha tersenyum meski terlihat sangat kaku. Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman, Arika menyambutnya dengan tangan yang gemetaran.

“Apa kabar, lama gak ketemu”.

“Baik” jawab Arika singkat sambil menarik tangan kanannya cepat – cepat. Lima detik berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir keduanya. Sampai sebuah suara menyadarkan mereka berdua dari lamunan.

“Mau dibuatkan minum apa, pak  ?” tanya mba Sarti pada tamu Arika ini.

“Coffee creamer aja mba” jawab Alvin.

“Coffenya satu sendok takar, gulanya dua sendok, creamaernya tiga sendok” sambung Arika kemudian. Arika dan Alvin kembali bertatapan, sungguh Arika tak tau darimana refleks bicara itu tiba – tiba keluar. Alvin kemudian menganggukkan kepalanya kepada mba Sarti pertanda ia setuju pada kata – kata Arika. Tak mau membuat tamu bosnya menunggu lama, mba Sarti bergegas ke dapur menyiapkan minuman sesuai pesanan sang tamu. Selepas mba Sarti pergi ke dapur, mereka mulai membicarakan masalah bisnis yang memang sejak awal harus mereka bicarakan.

Arika hanya sebatas menggantikan sang atasan saat itu. Ia memilih untuk kembali membuat janji pertemuan anatara bosnya dengan Alvin seminggu lagi. Arika berharap pertemuan itu tak membawa pengaruh dalam kehidupannya. Tapi nyatanya, hampir satu jam mereka berbicara tentang pekerjaan diselingi pertanyaan  - pertanyaan pribadi sesekali. Dan selama itu pula Arika tak mampu berkonsentrasi tentang apa – apa yang mereka bicarakan.

Empat tahun lalu menjadi tahun terberat bagi kehidupan peribadi Arika. Hari – hari yang dilalui berikutnya menjadi pergantian hari yang membuatnya sesak, bahkan nyaris membuat Arika memutuskan untuk tak berTuhan. Arika terus mempertanyakan keadilan Tuhan atas hidupnya. Sejak kehilangan Ibu dan Ayahnya dalam sebuah kecelakaan pesawat, hanya Alvin yang selanjutnya membuatnya memiliki keinginan untuk kembali hidup setelah kesedihan yang berkepanjangan. Alvin, lelaki yang dikenalnya secara tak sengaja di sebuah perpustakaan pusat daerah. Saat itu Arika mencari literatur untuk tugas akhir kuliahnya. Sementara Alvin hendak mengembalikan buku yang kebetulan dicari Arika. Sejak saat itu, Alvin dan Arika mulai intens berkomunikasi. Banyak hal yang mereka bicarakan, bahkan tak jarang perdebatan – perdebatan kecil berlangsung dalam chating mereka tiap hari.

Ada yang pernah mengatakan bahwa jika bahagia sedang dirasa, maka berbahagialah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tahu seberapa lama kebahagiaan kita hinggap dan berganti kesedihan. Maka hal serupa itu nyatanya terjadi pada diri Arika. Pada pertemuan ketiganya dengan Alvin semua tiba – tiba berubah. Selama ini mereka rutin berkirim kabar hanya lewat pesan singkat dari ponsel masing – masing.

Sejak mulai pertemuan ketiga mereka, Arika merasa ada yang tak enak dalam hatinya. Entah apa. Hingga akhirnya, ketika Alvin memutuskan mengantarkan Arika pulang dengan mobilnya, Arika menemukan sebuah surat yang membuat hidup dan hatinya berubah. Arika segera mempertanyakan kertas yang ditemukannya secara tak sengaja dari dalam mobil Alvin.

“Aku… Aku memang pasien transgender…” aku Alvin yang masih memarkirkan mobilnya di halaman rumah Arika. Arika mendadak mati rasa. Tubuhnya seolah membeku tak bisa digerakkan.

“Tapi bahkan pengadilan sudah melegalkan semuanya” ucap Alvin lagi. Alvin tau apa yang akan dihadapinya setelah Arika mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya. Salah satu alasan mengapa bahkan sampai detik ini Alvin tak pernah bercerita tentang keluarganya. Keluarga yang ia tinggalkan karena merasa tak sefaham dan tak merestui keputusannya. Keluarga yang juga mengabaikannya saat seisi dunia pun menjauhinya. Arika tetap tak bergeming. Ia melipat kertas itu dan memberikannya pada pemiliknya.

“Terimakasih sudah mengantar aku pulang”. Hanya sekalimat itu yang terlontar dari mulut Arika sebelum keluar dari mobil Alvin. Tak ada lagi kata – kata setelah itu. Bahkan meski Alvin terus berusaha menghubunginya, Arika tetap tak bergeming. Hingga hari ini tiba. Hari dimana Alvin kembali dalam kehidupannya.

“Terima kasih untuk pertemuan hari ini, semoga minggu depan bisa bertemu lagi” ucap Alvin sembari bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Arika. Arika menyambutnya dan tersenyum, kali ini lebih hangat dari senyumnya tadi.

“Hati – hati”. Arika hanya mampu memandangi punggung kekar itu yang perlahan pergi menjauhinya.

Apa yang telah tertanam dan mengakar tidak akan bisa dengan mudah dapat dihilangkan. Pun dengan rasa. Jejak rasa yang tertinggal entah disadari atau tidak bisa tumbuh menjadi tunas baru. Ketika waktu mengambil  peran penting  dalam kisah kasih insani, gejolak rasa yang tak seharusnya ada akan menggoreskan cerita dalam alur yang tidak akan pernah bisa diduga. Karena Rasa terkadang tak butuh logika…


Friday, January 24, 2014

[MBLR] Toga Untuk Ayah





Image taken from : http://solvethisgame.blogspot.com


“Bangunlah mimpi di atas mimpi, Nak. Mimpi adalah semangat hidupmu. Ketika mimpimu hancur berkeping – keeping, jangan pernah ragu untuk bangkit lagi. Ambil puing – puing mimpimu, dan rakit kembali. Ingatlah, begitu kau merkaitnya  kembali, yakinlah bahwa mimpimu bukan sekedar puing, kamu pasti mampu membangun mimpi di atas mimpi. Ayah percaya, kamu pasti bisa”

Ucapan itu selalu terngiang-ngiang di telinga Mira,  ketika ia  sedang dalam kondisi  terpuruk dan patah arang dalam mencapai asa dan citanya. Yahhh, ucapan ayahnya  kala itu, ketika Mira  pertama kalinya berpamitan dan meminta restu untuk menimba ilmu di kota pelajar Jogjakarta. Tak henti – hentinya ayahnya  selalu mengingatkan akan hal itu. Dan selama di perantauan, ucapan ayahnya  telah terbukti mengantarkan Mira  menyandang gelar sarjana dari salah satu universitas ternama di kota pelajar Jogjakarta.

Berangkat dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang pas –pasan, Mira bertekad untuk tidak mengecawakan kedua orangtuanya. Karena bagi Mira, jerih payah mereka harus bisa dibayar dengan keberhasilan dirinya menyandang gelar sarjana sesuai dengan harapan dan impian kedua orang tuanya, terutama sang ayah.  Pekerjaan ayahnya yang hanya seorang wiraswasta kecil – kecillan dalam bidang usaha percetakan, di mana tidak setiap hari mendapatkan orderan cetakan, membuat Mira sempat mengurungkan niatnya untuk melanjutkan jenjang belajarnya sampai tingkat universitas. Mira sadar, bahwa akan sangat membutuhkan banyak biaya untuk kuliahnya kelak.  Dan dengan penghasilan ayah Mira yang tidak tetap setiap harinya, Mira ragu, ayahnya akan mampu membiayai kuliahnya sampai selesai mendapatkan gelar sarjana. Namun,  ayah Mira meyakinkannya, akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa membuat Mira kuliah sampai selesai.

“Mira, seperti yang kamu ketahui, kita bukan berangkat dari keluarga yang berada. Maka dari itu, Ayah tidak akan bisa meninggalkan harta warisan seperti keluarga lain pada umumnya. Untuk itu, yang Ayah bisa lakukakn adalah berusaha semampu Ayah untuk mengantarkanmu mencapai cita-cita dan anganmu. Yahhh…mungkin hanya itu nantinya yang bisa Ayah  wariskan ke kamu kelak kalau Ayah sudah tidak ada. Ayah  bisa berhasil membawamu meraih kesuksesan seperti yang kamu harapkan. “ perkataan ayah  Mira yang akhirnya membuat Mira yakin untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Lika liku perjalanan Mira di kota pelajar  demi mewujudkan impiannya bukanlah tanpa kerikil – kerikil cobaan. Menjelang perkuliahan tingkat akhir, keadaan ekonomi keluarganya sangat terpuruk. Untuk kehidupan sehari – hari saja di rumahnya, ayahnya gali lubang tutup lubang, meminjam tetangga dan sanak saudara agar supaya dapur masih bisa mengepul. Hal ini sempat membuat Mira berinisiatif untuk mengambil cuti satu tahun dari kuliah untuk mencari pekerjaan membantu perekonomian keluarganya. Walaupun selama menjalani kulaih, Mira mendapatkan beasiswa, namun, uang beasiswa hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan akademisnya saja, sedangkan kebutuhan sehari – hari, Mira hanya mengandalkan uang bulanan dari orang tuanya dan hasil dari kerja sampingannya  dia sebagai waitress di sebuah coffee shop. Inisiatif Mira untuk mengambil cuti tersebut di tentang habis – habisan oleh Ayahnya.
“Ayah, Mira ambil cuti kuliah saja ya. Setahun. Mira akan cari kerjaan dulu untuk sementara waktu, sambil menunggu keadaan perekonomian kita membaik. Mira akan kerja full time di coffee shop, tempat  biasa Mira  kerja selepas habis kuliah. Mudah –mudahan hasilnya bisa sedikit membantu, Yah.” Kataku waktu itu lewat telepon.

”Kamu, nggak perlu cuti kuliah, Mira. Tidak perlu ikut memikirkan dari mana ayah bisa mencukupi kebutuhan kamu selama di sana. Ayah percaya, rejeki pasti ada untuk hal – hal yang baik. Tugasmu  sekarang adalah, konsentrasi saja di kuliahmu. Buat bangga ayah dengan kepulanganmu sebagai seorang sarjana. Masih ingat kan dengan ucapan ayah waktu itu? Rakit kembali mimpimu, ketika kamu merasa mimpimu hampir hancur berkeping – keping.” Jawaban ayah Mira kembali membangkitkan semangat Mira yang hampir saja padam.

 “Satu  - satunya jalan, aku harus segera menyelesaikan studiku lebih cepat dari yang seharusnya. Yuppp…aku pasti bisa” gumam Mira meyakinkan kepada dirinya sendiri sesudah mengakhiri pembicaraan dengann ayahnya melalui telepon.

Tuhan tidak akan memberikan kesulitan di luar batas kemampuan umatnya. Sepertinya ungkapan ini memang benar adanya. Terbukti, dengan berhasilnya Mira menyandang gelar serjana 6 bulan lebih cepat dari yang seharusnya. Yahh… berbekal dengan tekad dan keyakinan, serta dorongan semangat yang tak pernah putus dari orang tuanya, akhirnya Mira mampu menyelesaikan dan mempersembahkan gelar sarjana kepada mereka. Walaupun ayahnya tidak sempat melihat Mira memakai baju toga, namun Mira yakin, bahwa ayahnya juga ikut menyaksikan hari bahagia itu walupun dari tempat dan alam yang berbeda. Yahhh…dua minggu menjelang sidang ujian skripsinya, Mira mendapat kabar kalau tiba – tiba ayahnya terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini membuat Mira mengalami kesedihan yang luar biasa, dan sempat membuat Mira seolah kehilangan tujuan hidup. Namun berkat bimbingan dan nasehat dari ibunya, serta ucapan ayahnya yang selalu dia pegang teguh sebagai cambuk semangatnya, Mira pun bangkit dari keterpurukannya dan bertekad tetap membuat bangga ayahnya.


“Ayah, terima kasih atas dorongan semangat yang tak henti – hentinya ayah berikan kepada Mira. Mira sedih sekaligus bahagia. Sedih,karena ayah tidak sempat melihat Mira memakai toga. Bahagia, karena Mira akhirnya bisa mewujudkan keinginan ayah untuk Mira menggapai impian Mira. Mira selalu pegang pesan ayah untuk tetap membangun mimpi di atas mimpi.  Mimpiku bukan sekedar puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Semoga ayah di sana bisa ikut merasakan kebahagiaanku. Terima kasih untuk semuanya, ayah. “ Diciumnya batu nisan di atas pusara ayah Mira setelah dia  menaburkan bunga di atasnya.