Wednesday, November 12, 2014

Sejejak Rasa



By : Acik Rangkat & Dewa Rangkat 

Image taken from ariomuhammad.com

Tiap manusia pastinya mempunyai masa lalu sendiri – sendiri. Terlepas apakah itu masa lalu yang manis ataupun sebaliknya, hal itu merupakan rangkaian dalam perjalanan kehidupan yang tidak akan pernah terputus. Seperti yang sedang dialami oleh Arika. Entah semua berawal  dari mana. Yang jelas pertemuan tak sengaja itu kembali merajut kenangan – kenangan indah Arika dengan seseorang yang pernah singgah dalam relung hatinya yang paling dalam.  Takdir ataukah kebetulan, Arika  juga tak bisa mendefinisikannya. Atau kebetulan yang terbungkus oleh takdir? Yang jelas, senja di cakrawala menjadi saksi  awal dari semua kisah yang tidak masuk dalam rencana kehidupan Arika.
Sore itu tidak biasanya Arika pulang begitu cepat. Sudah menjadi makanan setiap harinya, tiap kali  pulang kantor pasti selepas isya’. Hari itu Arika pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima,  Arika  sudah berada di lobi kantor untuk bertemu dengan  klien. Sebenarnya, bukan kapasitas Arika  untuk bertemu dengan klien, namun karena atasannya  sedang ada dinas ke luar kota, sebagai sekretarisnya Arika  harus bisa menggantikannya untuk sementara. Arika bekerja sebagai sekretaris direksi di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Sebagai seorang sekretaris ia harus siap setiap saat bila dibutuhkan. Walaupun hanya bertemu dengan klien dan menjadwalkan ulang untuk pertemuan berikutnya. Seperti yang  sedang dilakukannya sore itu. Pertemuan yang hanya berlangsung tidak lebih dari satu jam, namun mampu membangkitkan gejolak kenangan yang telah terkubur empat tahun lamanya.  Sore yang penuh dengan gejolak. Kalimat yang tepat untuk mendefinisikan keadaan Arika.
“Bu Arika, tumben jam segini sudah turun ke bawah?” Sapa mbak Sarti, office girl kantor. Adalah hal  yang aneh buat mbak sarti melihat Arika sudah duduk manis di lobi utama kantor  karena sepengetahuan mbak sarti, Arika hampir tiap hari pulang paling cepat jam 8 malam.

“Iya, mbak Sarti. Ada janjian sama klien bos sore ini. Janjiannya sih tadi di lobi utama kantor, tapi sudah hampir setengah jam nunggu belum ada tanda-tanda penampakan dari klien si bos nih.” Jawab Arika agak kesal sambil terus melihat jam tangan dan sesekali mengecek ponselnya.

“ Sarti buatkan kopi buat Bu Arika ya, sambil nunggu kliennya datang.”. Tanpa ragu, Arika menganggukkan kepala tanda setuju dengan tawaran Mbak Sarti.  Tak butuh waktu lama Mbak Sarti membuat kopi untuk Arika. Dan tidak sampai lima menit Arika pun menikmati kopi buatan Mbak Sarti.

Jelas tampak di wajah Arika, kegelisahan yang tidak jelas. Antara gelisah karena klien yang ditunggunya tak kunjung datang, dan perasaan gelisah yang Arika sendiri tidak bisa mendefinisikan apa artinya. Yahh..perasaan gelisah  yang tiba-tiba menelusup ke dalam relung hatinya. Arika pun berusaha menghilangkann kejenuhannya menunggu dengan sibuk memainkan ponselnya.

“Dengan Ibu Arika?” terdengar suara seorang pria yang tidak asing di telinga Arika. Tanpa menoleh ke arah suara tadi, seketika bayangan masa lalu empat tahun silam kembali tersibak.
Potongan demi potongan peristiwa seolah hadir tanpa ia minta. Ada harapan dalam hatinya semoga sang pemilik suara bukanlah orang yang pernah ia kenal. Arlika perlahan bangkit dari duduknya, membalikkan tubuhnya menghadap ke arah sumber suara.

“Alvin…” lirih Arika menyebutkan nama pria yang ada dihadapannya. Tubuh Arika nyaris limbung, sekuat tenaga ia menahan berat tubuhnya agak tak terjatuh.
“Maaf sudah membuat Ibu Arika menunggu” ucap lelaki berbadan tegap dengan kulit sawo matang yang ada dihadapannya itu. Arika berusaha tersenyum meski terlihat sangat kaku. Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman, Arika menyambutnya dengan tangan yang gemetaran.

“Apa kabar, lama gak ketemu”.

“Baik” jawab Arika singkat sambil menarik tangan kanannya cepat – cepat. Lima detik berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir keduanya. Sampai sebuah suara menyadarkan mereka berdua dari lamunan.

“Mau dibuatkan minum apa, pak  ?” tanya mba Sarti pada tamu Arika ini.

“Coffee creamer aja mba” jawab Alvin.

“Coffenya satu sendok takar, gulanya dua sendok, creamaernya tiga sendok” sambung Arika kemudian. Arika dan Alvin kembali bertatapan, sungguh Arika tak tau darimana refleks bicara itu tiba – tiba keluar. Alvin kemudian menganggukkan kepalanya kepada mba Sarti pertanda ia setuju pada kata – kata Arika. Tak mau membuat tamu bosnya menunggu lama, mba Sarti bergegas ke dapur menyiapkan minuman sesuai pesanan sang tamu. Selepas mba Sarti pergi ke dapur, mereka mulai membicarakan masalah bisnis yang memang sejak awal harus mereka bicarakan.

Arika hanya sebatas menggantikan sang atasan saat itu. Ia memilih untuk kembali membuat janji pertemuan anatara bosnya dengan Alvin seminggu lagi. Arika berharap pertemuan itu tak membawa pengaruh dalam kehidupannya. Tapi nyatanya, hampir satu jam mereka berbicara tentang pekerjaan diselingi pertanyaan  - pertanyaan pribadi sesekali. Dan selama itu pula Arika tak mampu berkonsentrasi tentang apa – apa yang mereka bicarakan.

Empat tahun lalu menjadi tahun terberat bagi kehidupan peribadi Arika. Hari – hari yang dilalui berikutnya menjadi pergantian hari yang membuatnya sesak, bahkan nyaris membuat Arika memutuskan untuk tak berTuhan. Arika terus mempertanyakan keadilan Tuhan atas hidupnya. Sejak kehilangan Ibu dan Ayahnya dalam sebuah kecelakaan pesawat, hanya Alvin yang selanjutnya membuatnya memiliki keinginan untuk kembali hidup setelah kesedihan yang berkepanjangan. Alvin, lelaki yang dikenalnya secara tak sengaja di sebuah perpustakaan pusat daerah. Saat itu Arika mencari literatur untuk tugas akhir kuliahnya. Sementara Alvin hendak mengembalikan buku yang kebetulan dicari Arika. Sejak saat itu, Alvin dan Arika mulai intens berkomunikasi. Banyak hal yang mereka bicarakan, bahkan tak jarang perdebatan – perdebatan kecil berlangsung dalam chating mereka tiap hari.

Ada yang pernah mengatakan bahwa jika bahagia sedang dirasa, maka berbahagialah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tahu seberapa lama kebahagiaan kita hinggap dan berganti kesedihan. Maka hal serupa itu nyatanya terjadi pada diri Arika. Pada pertemuan ketiganya dengan Alvin semua tiba – tiba berubah. Selama ini mereka rutin berkirim kabar hanya lewat pesan singkat dari ponsel masing – masing.

Sejak mulai pertemuan ketiga mereka, Arika merasa ada yang tak enak dalam hatinya. Entah apa. Hingga akhirnya, ketika Alvin memutuskan mengantarkan Arika pulang dengan mobilnya, Arika menemukan sebuah surat yang membuat hidup dan hatinya berubah. Arika segera mempertanyakan kertas yang ditemukannya secara tak sengaja dari dalam mobil Alvin.

“Aku… Aku memang pasien transgender…” aku Alvin yang masih memarkirkan mobilnya di halaman rumah Arika. Arika mendadak mati rasa. Tubuhnya seolah membeku tak bisa digerakkan.

“Tapi bahkan pengadilan sudah melegalkan semuanya” ucap Alvin lagi. Alvin tau apa yang akan dihadapinya setelah Arika mengetahui rahasia terbesar dalam hidupnya. Salah satu alasan mengapa bahkan sampai detik ini Alvin tak pernah bercerita tentang keluarganya. Keluarga yang ia tinggalkan karena merasa tak sefaham dan tak merestui keputusannya. Keluarga yang juga mengabaikannya saat seisi dunia pun menjauhinya. Arika tetap tak bergeming. Ia melipat kertas itu dan memberikannya pada pemiliknya.

“Terimakasih sudah mengantar aku pulang”. Hanya sekalimat itu yang terlontar dari mulut Arika sebelum keluar dari mobil Alvin. Tak ada lagi kata – kata setelah itu. Bahkan meski Alvin terus berusaha menghubunginya, Arika tetap tak bergeming. Hingga hari ini tiba. Hari dimana Alvin kembali dalam kehidupannya.

“Terima kasih untuk pertemuan hari ini, semoga minggu depan bisa bertemu lagi” ucap Alvin sembari bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Arika. Arika menyambutnya dan tersenyum, kali ini lebih hangat dari senyumnya tadi.

“Hati – hati”. Arika hanya mampu memandangi punggung kekar itu yang perlahan pergi menjauhinya.

Apa yang telah tertanam dan mengakar tidak akan bisa dengan mudah dapat dihilangkan. Pun dengan rasa. Jejak rasa yang tertinggal entah disadari atau tidak bisa tumbuh menjadi tunas baru. Ketika waktu mengambil  peran penting  dalam kisah kasih insani, gejolak rasa yang tak seharusnya ada akan menggoreskan cerita dalam alur yang tidak akan pernah bisa diduga. Karena Rasa terkadang tak butuh logika…


Friday, January 24, 2014

[MBLR] Toga Untuk Ayah





Image taken from : http://solvethisgame.blogspot.com


“Bangunlah mimpi di atas mimpi, Nak. Mimpi adalah semangat hidupmu. Ketika mimpimu hancur berkeping – keeping, jangan pernah ragu untuk bangkit lagi. Ambil puing – puing mimpimu, dan rakit kembali. Ingatlah, begitu kau merkaitnya  kembali, yakinlah bahwa mimpimu bukan sekedar puing, kamu pasti mampu membangun mimpi di atas mimpi. Ayah percaya, kamu pasti bisa”

Ucapan itu selalu terngiang-ngiang di telinga Mira,  ketika ia  sedang dalam kondisi  terpuruk dan patah arang dalam mencapai asa dan citanya. Yahhh, ucapan ayahnya  kala itu, ketika Mira  pertama kalinya berpamitan dan meminta restu untuk menimba ilmu di kota pelajar Jogjakarta. Tak henti – hentinya ayahnya  selalu mengingatkan akan hal itu. Dan selama di perantauan, ucapan ayahnya  telah terbukti mengantarkan Mira  menyandang gelar sarjana dari salah satu universitas ternama di kota pelajar Jogjakarta.

Berangkat dari keluarga dengan keadaan ekonomi yang pas –pasan, Mira bertekad untuk tidak mengecawakan kedua orangtuanya. Karena bagi Mira, jerih payah mereka harus bisa dibayar dengan keberhasilan dirinya menyandang gelar sarjana sesuai dengan harapan dan impian kedua orang tuanya, terutama sang ayah.  Pekerjaan ayahnya yang hanya seorang wiraswasta kecil – kecillan dalam bidang usaha percetakan, di mana tidak setiap hari mendapatkan orderan cetakan, membuat Mira sempat mengurungkan niatnya untuk melanjutkan jenjang belajarnya sampai tingkat universitas. Mira sadar, bahwa akan sangat membutuhkan banyak biaya untuk kuliahnya kelak.  Dan dengan penghasilan ayah Mira yang tidak tetap setiap harinya, Mira ragu, ayahnya akan mampu membiayai kuliahnya sampai selesai mendapatkan gelar sarjana. Namun,  ayah Mira meyakinkannya, akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa membuat Mira kuliah sampai selesai.

“Mira, seperti yang kamu ketahui, kita bukan berangkat dari keluarga yang berada. Maka dari itu, Ayah tidak akan bisa meninggalkan harta warisan seperti keluarga lain pada umumnya. Untuk itu, yang Ayah bisa lakukakn adalah berusaha semampu Ayah untuk mengantarkanmu mencapai cita-cita dan anganmu. Yahhh…mungkin hanya itu nantinya yang bisa Ayah  wariskan ke kamu kelak kalau Ayah sudah tidak ada. Ayah  bisa berhasil membawamu meraih kesuksesan seperti yang kamu harapkan. “ perkataan ayah  Mira yang akhirnya membuat Mira yakin untuk meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.

Lika liku perjalanan Mira di kota pelajar  demi mewujudkan impiannya bukanlah tanpa kerikil – kerikil cobaan. Menjelang perkuliahan tingkat akhir, keadaan ekonomi keluarganya sangat terpuruk. Untuk kehidupan sehari – hari saja di rumahnya, ayahnya gali lubang tutup lubang, meminjam tetangga dan sanak saudara agar supaya dapur masih bisa mengepul. Hal ini sempat membuat Mira berinisiatif untuk mengambil cuti satu tahun dari kuliah untuk mencari pekerjaan membantu perekonomian keluarganya. Walaupun selama menjalani kulaih, Mira mendapatkan beasiswa, namun, uang beasiswa hanya mampu untuk mencukupi kebutuhan akademisnya saja, sedangkan kebutuhan sehari – hari, Mira hanya mengandalkan uang bulanan dari orang tuanya dan hasil dari kerja sampingannya  dia sebagai waitress di sebuah coffee shop. Inisiatif Mira untuk mengambil cuti tersebut di tentang habis – habisan oleh Ayahnya.
“Ayah, Mira ambil cuti kuliah saja ya. Setahun. Mira akan cari kerjaan dulu untuk sementara waktu, sambil menunggu keadaan perekonomian kita membaik. Mira akan kerja full time di coffee shop, tempat  biasa Mira  kerja selepas habis kuliah. Mudah –mudahan hasilnya bisa sedikit membantu, Yah.” Kataku waktu itu lewat telepon.

”Kamu, nggak perlu cuti kuliah, Mira. Tidak perlu ikut memikirkan dari mana ayah bisa mencukupi kebutuhan kamu selama di sana. Ayah percaya, rejeki pasti ada untuk hal – hal yang baik. Tugasmu  sekarang adalah, konsentrasi saja di kuliahmu. Buat bangga ayah dengan kepulanganmu sebagai seorang sarjana. Masih ingat kan dengan ucapan ayah waktu itu? Rakit kembali mimpimu, ketika kamu merasa mimpimu hampir hancur berkeping – keping.” Jawaban ayah Mira kembali membangkitkan semangat Mira yang hampir saja padam.

 “Satu  - satunya jalan, aku harus segera menyelesaikan studiku lebih cepat dari yang seharusnya. Yuppp…aku pasti bisa” gumam Mira meyakinkan kepada dirinya sendiri sesudah mengakhiri pembicaraan dengann ayahnya melalui telepon.

Tuhan tidak akan memberikan kesulitan di luar batas kemampuan umatnya. Sepertinya ungkapan ini memang benar adanya. Terbukti, dengan berhasilnya Mira menyandang gelar serjana 6 bulan lebih cepat dari yang seharusnya. Yahh… berbekal dengan tekad dan keyakinan, serta dorongan semangat yang tak pernah putus dari orang tuanya, akhirnya Mira mampu menyelesaikan dan mempersembahkan gelar sarjana kepada mereka. Walaupun ayahnya tidak sempat melihat Mira memakai baju toga, namun Mira yakin, bahwa ayahnya juga ikut menyaksikan hari bahagia itu walupun dari tempat dan alam yang berbeda. Yahhh…dua minggu menjelang sidang ujian skripsinya, Mira mendapat kabar kalau tiba – tiba ayahnya terkena serangan jantung dan akhirnya meninggal dunia. Hal ini membuat Mira mengalami kesedihan yang luar biasa, dan sempat membuat Mira seolah kehilangan tujuan hidup. Namun berkat bimbingan dan nasehat dari ibunya, serta ucapan ayahnya yang selalu dia pegang teguh sebagai cambuk semangatnya, Mira pun bangkit dari keterpurukannya dan bertekad tetap membuat bangga ayahnya.


“Ayah, terima kasih atas dorongan semangat yang tak henti – hentinya ayah berikan kepada Mira. Mira sedih sekaligus bahagia. Sedih,karena ayah tidak sempat melihat Mira memakai toga. Bahagia, karena Mira akhirnya bisa mewujudkan keinginan ayah untuk Mira menggapai impian Mira. Mira selalu pegang pesan ayah untuk tetap membangun mimpi di atas mimpi.  Mimpiku bukan sekedar puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Semoga ayah di sana bisa ikut merasakan kebahagiaanku. Terima kasih untuk semuanya, ayah. “ Diciumnya batu nisan di atas pusara ayah Mira setelah dia  menaburkan bunga di atasnya. 


Wednesday, November 13, 2013

Point Akad Nikah

“Arinaaaaaaa….!!!!!!!!! suara cempreng Rika membuyarkan seketika lamunan indahku di siang bolong yang panas.

“ Wooiii cuyyyy, manggilnya ga pake teriak – teriak, ga bisa apa? Dah kayak setan kesurupuan aja kamu neh
manggil orang. Ga tau apa, aku lagi berkhayal indah. Dah hampir aja pangeran impianku ngejemput aku, dalam
khayalanku…. ehhhh, teriakanmu bikin pangeranku berubah jadi setan kesurupan. Kampret, Lo.!!!!!” Dengan nada
kesal campur geram, kuomeli Rika.

“Hehehehehehhe…. sorry sorry deh, mangaapppp, Cuinn.” Balas Rika dengan wajah tak berdosanya.

Tanpa mempersilahkan masuk, Rika sudah nyelonong masuk ke dalam rumah. Rika adalah sahabat karibku.
Suka, duka, dan apapun yang menjadi kegalauannya, selalu muara curhatnya ke aku. Kami memang jarang
bertemu, namun intens komunikasi lewat bbm. Kebetulan Rika main ke tempetku, karena dia sengaja ambil cuti
kerja untuk menghadiri acara akad nikah teman deketnya di kantor. Mau mengejar ponit akad nikah, itu yang jadi
alasan, kenapa dia mau bela – belain datang dari Semarang ke Jogjakarta, hanya untuk menghadiri akad nikah
temannya itu. Alasan yang bisa aku terima dengan nalarku. Tapi itulah salah satu keunikan sahabatku, selalu
percaya pada mitos, yang belum tentu bisa dibuktikan kebenarannya. Yahh, namanya juga mitos, bisa percaya
bisa juga ngga, tergantung kepercayaan masing – masing.

“Kok sepi, Rin ? Ibumu ke mana? “ tanya Rika setelah sadar kalo rumahku kosong, tidak ada orang. Cuma
tinggal aku saja.

“Ibu ke tempat kakakku yang di Bandung, kangen cucunya katanya. “ Jawabku singkat

“Baca bbmu semalam, kamu mau ngadirin acara akad nikah temen kantormu? Di masjid kampus UGM? Besok?

Aku ga janji bisa nemenin kamu lho, ya. Aku mau manfaatin hari libur buat ngeboo seharian di rumah, mumpung
 Ibuku ga di rumah, hahahahahaha. “ ucapku sebelum Rika mengutarakan maksud dan keinginannya.

“ Ya elah, kamu neh, kamu ga mau apa ngejar point akad nikah yang aku ceritain di bbm semalam? Percaya
ga percaya sih, Cuiinn. Tapi ga ada salahnya kan dicoba. Aku dah ngantongin 5 point neh, hehehehehhe.
Harapanku, tahun ini cuinnt, bisa segera nyusul mereka – mereka yang dah aku datangi akad nikahnya. Dah
bosenn tauuu, kesana ke sini ditanyain mulu, Rika, kapan kawinnnnnn. “ jelas  Rika penuh semangat
Masih dengan topik yang sama, Rika mengulang cerita yang di bbm semalam, tentang keberhasilan temennya
mengantongi point akad nikah.

“Kamu masih ingetkan cerita di bbmku semalam. Temenku tuh seumuran kita ini lah, anak bungsu. Tinggal dia
aja yang belum nikah di keluarganya. You know lah, kalo hidup di kampung tuh, banyak yang nyinyir kalo
seumuran kita tuh belom laku – laku. Nah, temenku tuh dibilangin sama ibunya, suruh sering datang ke acara
akad nikah temen - temennya. Yahh, siapa tau cepet ketularan. Terus, saking semangatnya temenku mau
mengkahiri masa lajangnya, dia turutin apa omongan ibunya itu. Anddd, setelah dia ngantongin 5 point akad
nikah, selang 2 mingguan, mantannya datang terus ngajak merit, cuiiinn. Amazingggg kan???” Terlihat binar
semangat di mata Rika sewaktu menceritakan keberhasilan point akad nikah temennya.

“Ayolah, cuintaku Arin, temenin aku besok yak. Daripada kamu ngebo seharian di rumah, mending ikut aku
besok ke acara akad nikah temenku. Yahhh, kamu ga mesti percaya deh, sama hal-hal  yang gituan. Ehh, siapa
tau lho, besok kamu tiba-tiba ketemu pangeran impian kamu, who knows kan? Hahahahahaha” Goda Rika
sambil nglempar bantal ke arahku.

Bujuk rayu Rika menggoyahkan keinginanku untuk bermalas-malasan di rumah besok. Akhirnya aku
memutuskan untuk menemaninya datang ke acara akad nikah temennya itu. 

***
Acara akad nikah dimulai pukul 08.00 WIB. Kami datang terlambat hampir 1/2 jam. Gara-gara miss lebay bin
miss drama queen si Rika,  rempong ma dandanannya. Tapi untungnya, masih ada beberapa orang yang
datang terlambat setelah kami.

Tanpa sengaja aku menginjak kaki orang di sebelahku sewaktu aku mau duduk. Subhanallah, Allah begitu
sempurna menciptakan kaum adam yang ada di sebelahku. Batinku saat itu ketika melihat cowok yang aku injak
kakinya.

“ Aduuhhh, mas. Maaf ya, ga sengaja nginjak kakinya.” Ucapku

“ Oh, ga apa kok, Mbak.” Jawab cowok itu singkat.

Bahasa tubuhku terlihat jelas, bahwa aku kurang nyaman duduk bersebelahan dengan cowok yang aku injak
tadi. Kurang nyaman, karena aku merasakan ada sesuatu yang entah, aku sendiri tidak bisa mengartikannya.
***

“ Arinnnn!!!!!!!! Selamat ya… busyettt dah. Ga nyangka neh, ternyata kamu duluan yang melepas masa lajang.
Masih seminggu lagi kan, akad nikahnya? Semoga akad nikahmu ini menjadi point akad nikah terakhir ku ya,
hahahahahahahahhaha.” Suara rika terdengar nyaring di telingaku, ketika aku menelpon dia memberitahukan
perihal pernikahanku.

Sepintas aku memandangi undangan pernikahanku, sambil tersenyum sendiri serasa tidak percaya atas
keajaiban dan kekuasaan Tuhan. Antara percaya dan tidak percaya. Seandainya aku tidak ikut menemani Rika
menghadiri acara akad nikah temannya 3 bulan yang lalu, mungkin sekarang aku masih sibuk mencari belahan
jiwaku. Afri namanya. Calon suamiku. Cowok yang tidak sengaja aku injak kakinya di acara akad nikah
temennya Rika. Antara percaya dan tidak percaya dengan mitos point akad nikah. Namun yang aku percaya
adalah bahwa Jodoh itu tidak bisa ditebak, dan datangnya kadang dengan jalan yang tidak kita duga. Masalah
cerita kebenaran point akad nikah temannya Rika, menurut aku adalah hal yang kebetulan saja. Buktinya, aku
baru sekali menghadiri akad nikah, bisa langsung mendapatkan jodoh. Aku pun tersenyum geli, teringat betapa
semangatnya dan tidak patah arang  Rika mengejar pointya  akad nikah, walaupun sampai sekarang dia belum
juga menemukan separuh jiwanya.

Erlina #6

1381842437765562112
Image taken from : warihfirdausi.blogspot.com


“Woiiiii, jelek banget sih mukamu, melongo kayak gitu. Hahahahahha.  Kenapa sih, Non, liatin aku kayak liat hantu aja.” Ucap Wilsa seraya mengusap - usap kepala Erlina.

” Wil, barusan aku liat kamu masuk toilet, Pria. Apa ga salah tuh?” tanya Erlina masih dengan wajah bingungnya.

“Well, look at me, dear? Liat dengan seksama. Apa pendapatmu?” tanya Wilsa sambil berputar di depan Erlina seolah ingin menunjukkan perubahan yang ada pada dirinya.

Berulang kali  Erlina memandang Wilsa, dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada yang beda memang, batin Erlina. Tapi dia sulit untuk menggambarkannya. Hanya terbesit satu kata di benak Erlina. Tampan.  Yahh..Wilsa keliatan  tampan, layaknya pria sungguhan. Tidak tampak sedikitpun kalau Wilsa itu seorang perempuan. Orang lain pasti akan mengira kalau ia adalah seorang pria tulen, tanpa cacat.

“Hemm, sepertinya otakmu agak lemot neh, Er. Okelah, kita cabut dulu aja deh dari sini, ntar aku jelasin pelan - pelan.”

Sepanjang perjalanan naik taksi menuju rumah kontrakan Wilsa, Erlina lebih banyak diam mendengar semua cerita Wilsa. Mulai dari dia terus terang tentang perasaanya ke Erlina, hingga keputusannya untuk operasi kelamin. Erlina tak mampu berucap sepatah katapun. Wilsa pun membiarkan Erlina diam dengan kebisuannya. Membiarkan otaknya mencerna secara perlahan cerita yang disampaikan Wilsa ke Erlina.

“Well, jadi, begitulah Er. Seperti yang pernah aku bilang ke kamu waktu itu, aku terjebak di raga seorang perempuan. Dan itu sangat menyiksaku. Butuh pemikiran lama memang aku memutuskan untuk operasi kelamin. Banyak resiko yang nantinya bakal aku hadapi. Cemooh dan cibiran dari orang salah satunya.  Entah dengan cara apa aku nantinya akan menjelaskan ke keluargaku, tentang keadaanku sekarang. Keluargaku memang sangat demokratis, tapi aku tidak bisa menjamin tentang hal ini. Apakah mereka bisa menerima atau tidak. Dan sekarang, kamu bisa kok mencintai aku selayaknya seorang pria dan wanita. Hahahahahhaha ” jelas Wilsa sambil mencubit pipi Erlina yang duduk di sebelahnya.
Erlina hanya tersenyum kecil, mendengar candaan yang dilontarkan Wilsa.

***
Rumah kontrakan Wilsa terbilang kecil. Apalagi di sana sini terlihat tumpukan buku, terlihat semakin sumpek. Tadinya Erlina berencana menginap di hotel, selama liburan di Jepang, karena takut menganggu Wilsa yang sedang berkutat dengan thesisnya. Namun, serta  merta Wilsa melarang. Wilsa justru merasa senang dengan keberadaan Erlina di rumah kontrakannya.  Penambah semangat. Begitulah alasan Wilsa melarang Erlina menginap di Hotel.

Hari  demi hari dilalui Erlina dengan sangat bahagia,  selama liburanya di Jepang. Ia merasa begitu nyaman berada di samping Wilsa. Tak ada rasa risih sedikitpun seperti yang Ia rasakan sebelumnya.  Pun ketika, tiba - tiba Wilsa mencium bibir Erlina dengan lembut. Tak ada penolakan sedikitpun dari Erlina. Bahkan terlihat Erlina sangat menikmatinya.

“Jangan panggil aku dengan Wilsa. Wilsa adalah masa laluku, masa lalu kita. Willy. Yah, panggil aku dengan sebutan Willy. ” Bisik Wilsa lembut  ke telinga Erlina.
Erlina pun menenggelamkan tubuhnya ke pelukan Willy . Kehangatan yang diberikan Willy membuat Erlina yakin bahwa seseorang yang selama ini ia cari adalah Willy.

***

“Jadi, sudah yakin neh, aku tambatan terakhir hatimu? Aku masih belum mapan lho, Er. Thesis aja belum kelar. Kalau pak Amin kan sudah mapan. Paket hemat lagi. Dapat suami plus anak. Hahahhahaha ” goda Willy seraya menikmati teh hangat di beranda rumahnya. 

Mendengar candaan Willy, Erlina hanya tertawa sambil bergelayut manja di bahu Willy.
Tak ada lagi yang disembunyikan Erlina tentang kehidupan pribadinya . Mulai dari pertemuannya yang tidak sengaja dengan Rido di bandara, sampai pak Amin yang memintanya menjadi istrinya. Semua sudah diceritakan dengan gamblang tanpa kurang sedikitpun. Willy pun menanggapinya dengan bijak. Bahkan Willy masih sempat  menyarankan Erlina untuk bisa mencari pria yang bener - bener normal, tidak seperti dirinya. Namun, cinta sudah membutakan logika Erlina.  Erlina sudah memantapkan hati dan pilihannya ke Willy, apapun konsekuensinya.  Erlina hanya butuh Willy seorang di dekatnya. Saat ini dan untuk selamanya. Sepulang dari liburannya, Erlina akan menceritakan semuanya ke keluarganya sekaligus ke Pak Amin, itu yang ada di benak Erlina.

***
Sore itu begitu syahdu. Hanya keheningan yang tercipta di sela - sela pohon kamboja. Rintik hujan yang turun membuat suasana sore terlihat lebih  sendu dari biasanya, seakan tahu kepedihan hati Willy saat itu.  Hanya tinggal willy sendirian yang masih duduk terpaku menatap hamburan bunga mawar di atas gundukan tanah yang masih basah. Begitu cepat Tuhan merenggut kebahagiaan yang baru ia reguk. Baru setetes embun kebahagiaan yang ia rasakan. Yah… Tuhan sepertinya tidak rela Willy menikmati embun itu selamanya. Tuhan mungkin murka, sampai tega mengambil embun kebahagian darinya untuk selamanya.

“Erlina sayang, maafkan aku. Kalau saja aku tidak memintamu ke Jepang untuk berlibur, mungkin kamu tidak akan secepat ini menghuni rumah masa depanmu. Maafkan aku, sayang.” Gumam Willy penuh penyesalan.  Dipandanginya nisan yang ada di depannya. Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera Erlina Wulandari. Lahir 25 Juli 1982. Meninggal 13 Oktober 2013.
***
Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa Erlina sewaktu penerbangan pulang,  dari Tokyo, Jepang ke Jakarta.  Hasil investigasi, diketahui bahwa kecelakaan pesawat yang membawa Erlina terbang dari Jepang pulang ke Indonesia terjadi karena  adanya  benda asing yang masuk ke baling - baling pesawat atau dikenal dengan istilah koba, yang menyebabakan pesawat mengalami gangguan keseimbangan. Bagai petir menyambar di siang bolong, Willy hampir tak percaya ketika melihat berita di televisi, sampai dia melihat dengan mata kepalanya sendiri, gundukan tanah basah bertabur bunga dan nisan tertera nama Erlina. Yah, Erlina Wulandari, sahabat karib sekaligus kekasih hatinya.

“Semoga kamu tenang dan nyaman di rumah barumu, sayang. Doaku selalu menyertaimu. ” ucap willy sambil mencium  nisan Erlina.




T.A.M.A.T

Erlina #5


1381842437765562112
Image taken from : warihfirdausi.blogspot.com

Sudah hampir jam 2 malam, mata Erlina masih belum bisa terpejam. Bayangan Wilsa, sahabat karibnya dan pak Amin, bergantian berjalan - jalan tak menentu di benaknya. Entah apa yang dirasakan Erlina saat ini. Yang jelas, hanya Wilsa yang dibutuhkan Erlina saat ini. Dipandanginya layar BB yang ada di tangannya. BBM dari wilsa pun masih tersimpan. Semenjak Wilsa sampai di Tokyo, Jepang, Erlina tidak pernah membalas BBM maupun email dari Wilsa. Butuh waktu yang cukup lama memang untuk membuat Erlina tersadar dan menghadapi kenyataan, bahwa Wilsa punya  disorientasi seksual. Namun, pada akhirnya, seiring berjalannya waktu, Erlina bisa menerima keadaan itu.

Apa kabar, Wil, kamu di sana? Semoga kamu dalam keadaan baik, tak kurang suatu apapun. Maaf, baru sekarang aku kasih kabar balik ke kamu. Aku butuh waktu untuk menerima semuanya, Wil. Kuharap kamu mengerti. Terasa sesak, begitu tahu kamu  nodai persahabatan kita yang tulus ini.namun, apa boleh di kata, kenyataan berkata seperti itu. Aku yang harus bijak menyikapinya. Dan aku sudah bisa menerima apapun keadaanmu. 

Terasa kaku, bbm yang dikirim Erlina ke Wilsa. Tidak seperti biasa ketika dua sahabat itu berbalas - balasan  pesan.
Sepuluh menit, 30 menit,  dan hampir dua jam sampai Erlina tertidur, belum ada balasan juga dari Wilsa.
Ada perasaan sedih, ketika Erlina bangun tidur, melihat layar BBnya tidak ada balasan dari Wilsa. Perasaan khawatir seketika menyeruak di dada Erlina.

“Are you fine, Will out there? Don’t make me worry bout you, Wil” Gumam Erlina pada dirinya sendiri sambil menatap layar BBnya.
***
Pagi itu hari yang tak bersemangat buat Erlina berangkat ke kantor. Terbayang olehnya, pertemuan dengan pak Amin pasti akan terlihat canggung setelah pak Amin mengutarakan maksud hatinya. Erlina pun masih bimbang dan ragu akan perasaannya terhadap bosnya itu. Tak dipungkiri oleh Erlina,ada kenyamanan ketika  berada di dekat pak Amin. Entah kenyamanan seperti apa yang dirasakan Erlina, ia sendiri pun sulit untuk menggambarkannya.

Di ruang kerjanya, Erlina terlihat lesu. Matanya melihat kea rah layar computer, namun pikirannya entah ke mana. Pak Amin pun juga belum kelihatan di ruangannya. Tidak seperti biasanya pak Amin jam 10 belum datang. Tiba - tiba bunyi telpon membuyarkan lamunan Erlina.

“Er, maaf, bapak ga ngasih tau kamu. Bapak juga dadakan ini. Ada masalah sedikit di kantor cabang kita yang ada di Surabaya. Dirut minta bapak untuk mewakilinya hadir, karena beliau juga ada pertemuan dengan investor di Singapura. Bapak minta kamu handle kantor dulu ya, selama bapak di Surabaya. Mudah - mudahan ga sampai 2 hari dah kelar. Oke, Er. Take care di sana ya. Nih, bapak dah mau boarding.” Pak amin mengkahiri percakapan lewat teleponnya.

Kembali berkutat dengan layar computer, Erlina masih belum bisa fokus dengan kerjaannya. Berkali - kali dia melihat BBnya, berharap ada balasan BBM dari Wilsa.

“Tidak seperti biasanya, Wilsa tidak membalas bbmku seperti ini. Apa dia dah ga mau kontak sama aku lagi, karena pesan - pesan dia ga pernah aku balas?” gumam Erlina.
Tidak ada satupun kerjaan Erlina yang beres sampai jam makan siang itu. E rlina benar - benar tidak bisa konsentrasi dengan kerjaannya. Hanya Wilsa yang ada dalam pikirannya saat ini. Kekuatiran yang teramat sangat. Itulah yang dirasakan saat itu oleh Erlina. Ketika hendak beranjak keluar dari ruang kerjanya, tiba - tiba ada bunyi pesan di BBnya.

Hiiii Dear, finally. You have made me worry, dear. Sorry, ya baru bisa bales Er. Aku habis sakit Er. tapi gpp kok. Don’t you worry. I’m oke right now. Apalagi setelah dapat bbm dari kamu, berasa langsung sehat aku. Hahahhahahaha. Well, kamu apa kabar di sana??? Sehat juga kan? Kirain kamu bakalan marah sampai kiamat, pesan - pesanku ga pernah dibalas. Hehehehehe, eh taunya, nona Erlina ngubungi juga. Pasti kangen kan kamu sama aku, hayooo ngakuuu…. Hahahahhha. Eh, thesisku dah hampir selesai. Kamu ke sini gih, main - main. Ambil cuti kek seminggu. Lagi musim  gugur   lho. Bagus banget dah. Kutunggu ya, dear.

Tersenyum penuh arti ketika Erlina baca bbm dari Wilsa. Rasa kuatirnya terkikis sudah. Lega yang dirasa Erlina sekarang, ketika tahu kabar wilsa baik -baik saja. Tawaran liburan Wilsa ke Jepang, membuat Erlina putar balik tidak  jadi keluar untuk makan siang. Tanpa pikir panjang, Erlina langsung mencari penerbangan ke Jepang untuk hari minggu. Cuti. Menenangkan pikiran sejenak, dan melepas kangen dengan sahabatnya, itulah yang saat ini ia butuhkan. Batin Erlina penuh semangat. Erlina akan memberitahukan rencana cutinya itu ke pak Amin, segera setelah pak Amin kembali dari Surabaya. Erlina tersenyum riang, begitu melihat hasil print out booking penerbangannya ke Jepang sudah ada dalam genggamannya.

Menunggu hari Minggu tiba, hal yang paling membuat Erlina tak sabar. Waktu berputar terasa lama bagi Erlina. Padahal hari Minggu tinggal dua hari, namun bagi Erlina serasa dua minggu.
***
Pengajuan cuti dan lain - lainnya sudah dipersiapkan dengan baik. Ijin cuti secara lisan sudah diutarakan Erlina ke pak Amin lewat telfon.   Ingin menenangkan diri. Itulah alasan Erlina ke pak Amin. Dan pak amin pun, amat sangat mengerti dengan alasan yang disampaikan Erlina. Tanpa banyak komentar, pak Amin menyetujui cuti yang diajukan Erlina.
Sehari sebelum cuti, Erlina pulang larut malam. Hal ini karena, selain harus menyelesaikan beberapa  pekerjaan sebelum kebernagkatannya, juga menghandle sedikit kerjaan Pak amin. Kepulangan Pak amin molor 3 hari dari jadwal sebelumnya. Hal ini berarti Erlina tidak bisa berpamitan langsung dengan bosnya itu. Untung, Cuti Erlina di acc walaupun lewat telfon.

Aku jadi ambil cuti, Wil. Besok aku berangkat ke Jepang. Pesawatku jam 21.55  WIB dari Jakarta. Naik Japan Air Lines JL726. 

Pesan singkat lewat bbm Erlina  kirim  ke Wilsa. Sengaja mendadak Erlina kasih kabar ke Wilsa. Surprise. Hal itu yang ingin Erlina berikan ke Wilsa. Sebuah kejutan hangat dengan kedatangganya ke Jepang.

Pesawat landing dengan sempurna. Tepat jam 07.25  waktu Jepang Erlina tiba di bandara Narita Tokyo, Jepang. Penerbangan yang sangat melelahkan. Hampir tujuh jam Erlina berada di pesawat.  Selesai mengambil bagasi, Erlina langsung meluncur ke luar bandara. Tak sabar ingin segera bertemu dengan Wilsa. Mata Erlina menjelajah diantara lautan manusia  di bandara itu  mencari sesosok Wilsa. Bbm wilsa terkahir sebelum Erlina berangkat,cuma memberitahukan kalau Erlina akan sedikit pangling dengan penampilannya sekarang.

“Nihon e yokoso honey (Selamat datang di Jepang, sayang) ” Suara yang tak asing lagi  terdengar di telinga Erlina. Seketika itu, Erlina membalikkan badannya dan langsung memeluk Wilsa.

“Wilsaaaaaa!!!!! Aku kangen banget sama kamuuuuuu!!!!!

“Iya iya, aku tahu kok, kalo kamu kangen sama aku, buktinya, kamu bela - belain datang ke sini kan, hahahahahhaha” candaan Wilsa tidak pernah berubah tiap kali menggoda Erlina.

Saking senangnya, Erlina tidak sempat memperhatikan perubahan yang ada di Wilsa, sampai Erlina sadar ketika Wilsa pamit ke toilet, bukannya masuk ke toilet perempuan, melainkan masuk ke toilet pria.



Bersambung......

Erlina #4


1381842437765562112
Image taken from : warihfirdausi.blogspot.com

Pagi itu, Erlina mengawali harinya sedikit penuh semangat. Beban di pundaknya sedikit hilang, Terlihat sunggingan senyum penuh keoptimisan, ketika Erlina melangkahkan kaki keluar rumah.
Sesuai  kesepakatan semalam, pak Amin menjemput Erlina untuk langsung meluncur ke hotel aston. Meeting dengan direksi.  Tidak banyak hal yang dibicarakan selama perjalanan menuju aston. Hanya hal - hal yang terkait dengan pekerjaan saja yang dibicarakan.
Rapat berlangsung lancar. Pak amin dan Erlina pun langsung meluncur kembali ke kantor. Mereka memutuskan untuk makan siang di kantin saja. Di tengah perjalanan, Erlina minta tolong pak Amin untuk berhenti di toko bunga. Ia ingin membeli seikat bunga mawar yang  akan ditaruh di meja kerjanya.

“Tumben beli bunga Er. Lagi kasmaran atau lagi apa neh? hahahahaha” goda pak Amin begitu Erlina masuk ke dalam mobil lagi.

“Ah, pak Amin, bisa aja. Ga kok, pak. Cuma pengen ganti suasana aja. Biar terlihat agak seger aja ruang kerja saya.” jawab Erlina dengan sunggingan senyum yang menawan.

***

Semenjak malam itu, malam ketika Erlina berbagi bebannya ke pak Amin, berangsur - angsur Erlina menemukan kembali semangat hidupnya. Penuh enerjik di setiap kegiatan yang ia lakukan. Setiap tugas yang dititahkan ke dirinya, berhasil dikerjakan dengan sempurna. Bapak dua orang anak itu pun terlihat puas dengan hasil kerja sekretarisnya, Erlina.

“Er, bapak minta tolong ntar sehabis pulang kantor, temenin bapak sama anak - anak bapak ke mall ya? Si sulung mau cari buku buat ujiannya seminggu lagi di gramedia. Sehabis pulang sekolah si sulung sama adiknya langsung pergi ke sana. Jadi, kita ntar langsung ketemuan di sana saja sama mereka. Kita pulang agak awal aja, Er. Jam 3 sore, kita langsung meluncur ke sana. Kasian, ntar mereka nunggu kelamaan di sana kalo kelamaan. Oke!!!!” Pinta Pak Amin, lewat telpon paralel dari ruangannya.

***
Pak Amin adalah sosok ayah yang baik bagi kedua buah hatinya. Istrinya memang jarang sekali menemani kedua anaknya jalan - jalan. Kesibukan istrinya melebihi kesibukan pak Amin sendiri. Bahkan, kabar terakhir, istrinya akan mengambil gelar s3nya,  doktor di luar negeri.
Tidak ingin anak - anaknya menunggu terlalu lama di mall, pak Amin memutuskan untuk berangkat setengah jam lebih awal dari kesepakatan sebelumnya.
Sesampainya di mall, pak Amin dan Erlina langsung menuju ke gramedia. Terlihat si sulung sedang memeilih - milih buku diktat sesuai keperluannya, sedangkan adiknya, terlihat asyik melihat - lihat buku komik Naruto kesukaannya.

“Sudah selesai, Nak cari bukunya?” Tanya pak amin mengejutkan Dika anak sulungnya yang sedang membaca salah satu buku yang dipilihnya.

“Eh, Papa. Bikin kaget Dika aja. Sama siapa, Pa?” Tanya dika sambil melirik ke arah Erlina.

“Sama tante Erlina, sekretaris Papa di kantor. Salim dulu ke tante Erlina.”
Penuh kecanggungan, Erlina bersalaman dengan Dika.

“Dik, panggil adikmu, terus kita makan. Biar sampai rumah ga kemalaman.” Pinta  pak Amin ke anak sulungnya.
Mereka berempat pun keluar dari gramedia dan menuju food court yang ada di dekat gramedia. Terlihat begitu ramai pengunjung sore itu.  Beruntung mereka mendapatkan meja, yang baru saja ditinggalkan oleh pengunjungnya.

“Pa, kok Adit ga dikenalin sama teman Papa?” Tanya adit anak bungsu pak Amin tiba-tiba sambil mencuri pandang ke arah Erlina.

“Hahahahaha. Papa mpe lupa. Eiya, ini tante Erlina, sekretaris Papa di kantor.” Ucap pak Amin memperkanalkan Erlina ke Adit.

Tanpa disuruh, Adit langsung mengulurkan tangan ke arah Erlina, dan dengan khas gaya anak umur 5 tahun memperkenalkan  diri.

“Kenalkan, tante Erlina. saya Adit. Anak dari bapak Amin Shiddiq. Umur 5 tahun, dan sudah pandai membaca, menulis dan berhitung. ” ucapan Adit membuat kami bertiga tertawa terbahak - bahak.

Tidak berapa lama, setelah perkenalan Adit ke Erlina, makanan yang telah mereka pesan akhirnya datang. Terlihat seperti keluarga yang bahagia.  Walaupun Erlina bukan bagian dari keluraga Pak Amin.

“Pa, adit mau ke time zone sebentar ya. Adit biar ditemani sama bang Dika. ” pinta adit setelah selesai menghabiskan suapan terakhirnya.

“Iya, tapi jangan lama - lama ya. Papa sama tante Erlina nunggu kalian di Starbucks , ya?”
Pak Amin dan Erlina segera beranjak dari tempat duduk mereka setelah kedua anak Pak amin berlalu meninggalkan mereka.

Karena sudah kenyang saat makan di food court tadi, mereka hanya memesan dua cangkir coklat panas, tanpa ada makanan ringan.

“Feel better than before kan Er? Bapak lihat kamu sudah lebih riang akhir - akhir ini. Produktivitas kerjamu juga mengalami peningkatan. Ehhmm, bisa - bisa karyawan teladan jatuh ke tanganmu, Er. ” Ucap Pak Amin sedikit menggoda Erlina.

Erlina hanya tersipu dan tertawa pelan, mendengar ucapan Pak Amin.
Alunan music jazz, membuat mereka ke lamunan masing-masing. Baik pak Amin ataupun Erlina, hanya menikmati minuman mereka, tanpa berkata sedikitpun. Sampai pertanyaan pak Amin hampir membuat Erlina tersedak.

“Erlina…mau ga kamu, kalau bapak minta jadi penggantinya mamanya anak - anak. Bapak ingin, kamu yang jadi mamanya anak - anak  bapak. “

“Lho, Istri Bapak kan ma…sihhh?” Tanya balik Erlina ke pak Amin dengan terbata-bata.

“Proses cerai kami tinggal selangkah lagi, Er. Hak asuh anak - anak jatuh ke Bapak. Bapak dan istri Bapak sebenarnya sudah ga tinggal serumah lagi sejak setahun yang lalu. Kadang kala memang kami terlihat bersama, namun hal itu tidak lepas hanya karena permintaan anak - anak. Tidak lebih. Istri Bapak selingkuh dengan teman kuliahnya sewaktu dia melanjutkan S2 nya di Netherland. Bapak memang rapi menyimpan hal ini, Er. Karena Bapak  tidak mau permasalahan keluarga bapak, jadi konsumsi orang di kantor. Dan, sudah sejak  lama sebenarnya, Bapak menaruh hati padamu. Tepatnya enam bulan terakhir ini.” Terdiam sejenak pak Amin sambl menyerupu coklat panasnya.

“Pertimbangkan dulu matang - matang permintaan Bapak. Bapak tidak ingin kamu terburu - buru menjawab permintaan Bapak ini. ” Penjelasan Pak Amin, sungguh membuat Erlina tidak percaya. Keharmonisan yang terlihat selama ini, ternyata hanyalah semu belaka.

Sejenak kekakuan terjadi beberapa saat  di antara mereka, sampai kedua anak pak Amin datang dan langsung mengajak pulang ke rumah.
Sepanjang perjalanan pulang dari Mall, Erlina lebih banyak diam dan melamun. Pak Amin pun juga tidak banyak bicara. Hanya sesekali menimpali anak - anaknya berceloteh. Memikirkan permintaan pak Amin untuk menjadi istrinya. Sejenak ada perasaan senang di hati Erlina, karena tanpa sadar telah tumbuh benih - benih cinta di hati Erlina.  Namun, ia pun tidak sepenuhnya yakin dengan perasaanya itu. Cinta, apa hanya sebatas kekaguman semata.
Ketika erlina  memejamkan mata, tiba - tiba bayangan wajah Wilsa melintas di pelupuk matanya. Wilsa. Dan seketika itu juga, tiba - tiba Erlina merasakan rindu yang teramat sangat dengan sahabat karibnya itu.


“Aku butuh kamu saat ini, Wil. Lebih dari sebelumnya.” Batin Erlina saat itu.


 Bersambung

Erlina #3



1381842437765562112


Masih tak percaya dengan apa yang diungkapkan Wilsa lewat bbm beberapa hari lalu, berharap bahwa Erlina ada kesalahan baca, namun, kalimat yang terangkai masih tetap memberikan pesan singkat bahwa Wilsa, sahabat karibnya, menaruh hati padanya, layaknya seorang pria jatuh cinta kepada seorang perempuan. Bingung. Itulah yang dirasakan Erlina beberapa hari terakhir ini. Bbm dari Wilsa pun yang mengabarkan kalau dirinya sudah sampai di Tokyo pun tidak dipedulikannya.

“Kenapa kamu nodai persahabatan kita dengan perasaanmu itu, Wil? Gumam Erlina pada dirinya sendiri di ruang kerjanya.

Semenjak kejadian di bandara beberapa hari yang lalu, Erlina sengaja menenggelamkan diri di kantor. Serpihan – serpihan semangat hidup yang tadinya sudah dia pungut dan terikat kuat kembali koyak dan tercerai berai. Walaupun tidak separah sewaktu kegagalan pernikahannya dengan Rido, namun pengakuan Wilsa sempat membuat Erlina shock beberapa hari ini, hingga membuat senyum yang selalu mengembang di bibir manisnya, pudar, hilang entah ke mana.

Adalah pak Amin, begitu beliau sering dipanggil di kantor Erlina, atasannya di kantor, yang akhir – akhir ini memperhatikan Erlina dengan segala perubahannya.

“ Belum pulang, Er? Sudah hampir jam 9 lho. Betah banget kamu di kantor. Bapak lihat, akhir – akhir ini kamu pulang malam terus? “ suara pak Amin membuyarkan lamunan Erlina seketika.

“Ehh.. pak Amin. Kok, saya ga kedengeran pak Amin masuk ? Jawab Erlina sambil membenarkan posisi duduknya.

“Lha gimana mau kedengeran, orang kamunya asyik nglamun gitu kok. Beresin sana meja kerjamu, bapak antar kamu pulang. Malam – malam gini, gadis pulang sendirian bahaya. Sekalian temenin bapak makan malam. Kamu pastinya belum makan malam juga kan? Mobilmu biar di sini aja, besok pas berangkat kerja, biar bapak samperin kamu. Sekalian langsung kita meeting dengan direksi di hotel Aston. Jadi, ga perlu mampir ke kantor dulu. “

Tanpa banyak komentar, Erlina menuruti perintah bosnya itu. Pak Amin adalah sosok pimpinan yang baik dan bersahaja kepada seluruh karyawan di kantor. Bisa memposisikan diri, kapan beliau berlaku sebagai pimpinan, atau sebagai rekan kerja dan juga sebagai teman. Erlina pun tidak merasa canggung dengan bosnya itu. Sudah hampir 5 tahun Erlina jadi sekretaris pak Amin. Faktor inilah yang membuat Erlina merasa nyaman dengan pak Amin. Di luar urusan kantor pun Erlina tidak canggung ketika pak Amin meminta Erlina untuk menemaninya. Walaupun hanya sekedar makan siang, ataupun menemaninya belanja dengan anak – anaknya. Erlina sudah menganggap pak amin seperti omnya sendiri. Usia yang terpaut lumyan jauh, membuat Erlina merasa nyaman bercerita tentang hal pribadipun kepada pak Amin. Sosok yang ngayomi, itulah yang ada di benak Erlina, ketika Erlina mengenal untuk pertama kalinya.

***
Jalanan Jakarta masih terlihat padat, walaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat. Jakarta memang kota yang tidak pernah tidur, begitu kata kebanyakan orang.

“Kita makan sate ayamnya pak Ateng aja ya, Er. Warung tenda yang deket kantor pajak itu. Mudah – mudahan jam segini masih belum tutup.” Ucap pak Amin membuka pembicaraan di mobil.

Erlina hanya mengangguk saja, tanda setuju. Sebenarnya Erlina sudah berniat untuk berbagi cerita dengan pak Amin tentang Wilsa. Namun, Erlina masih bingung harus memulainya dari mana, dan lagi beberapa hari terakhir ini, sering ada meeting persiapan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Erlina tidak ingin menambah beban bosnya dengan permasalahan pribadinya, walaupun pada dasarnya, pak Amin selalu welcome apapun permasalahan yang dihadapi Erlina.
 
“Wuahhh, pak ateng, sudah hampir tutup ya? Masih ada kan pak, sate untuk saya?” Tanya pak Amin begitu turun dari mobil.

“Alhamdulillah, masih ada pak. Sebenarnya belum mau tutup, pak. Tapi tadi, orang rumah telpon, suruh cepat pulang, soalnya ada suadara dari kampung datang.” Jawab pak Ateng

“Ooohhh.. .. eiya pak, pesen satu porsi seperti biasa, sama satu porsi lagi untuk Erlina. Sama teh angetnya dua. “ pesan pak Amin untuk dirinya sendiri dan Erlina.
Tidak banyak obrolan diantara mereka berdua selama makan malam itu.

“Kami pulang ya pak Ateng. Salam buat kelurganya yang baru datang dari kampung. “ ucap pak Amin selesai menyelesaikan makan malamnya.
Perjalanan ke rumah Erlina memakan waktu paling lama 30 menit dari warung pak Ateng. Hanya terdengar alunan lagu sepanjang perjalanan menuju rumah Erlina, sampai pak Amin tiba – tiba menanyakan tentang Wilsa.

“Wilsa apa kabar, Er? Sudah balik ke jepang ya?”

“Iya, pak. Saya mau ijin langsung waktu itu, bapak masih ada agenda rapat dengan direksi, makanya saya ijinke HRD. Wilsa baik pak. “

“Kenapa Er? Bapak liat akhir – akhir ini, kamu ga seperti biasanya Ga usah sungkan. Cerita aja kalau itu bisa buat kamu sedikit enakan. “

Waktu yang ditunggu – tunggu oleh Erlina. Sudah lama sebenarnya Erlina ingin berbagi cerita dengan pak Amin. Dan pucuk dicinta ulam pun tiba. Pak amin seolah tahu kegundahan yang dialami Erlina.

“Wilsa menaruh hati sama saya pak.” Perkataan Erlina sontak membuat pak Amin terkejut dan hampir saja mobilnya menabrak orang yang sedang melintas.

“Wilsa??? Apa dia….????”sebelum pak amin melanjutkan perkataannya, Erlina sudah mengangguk, mengisyaratkan bahwa apa yang ada di pikiran pak Amin adalah benar.

Panjang lebar Erlina menceritakan kebersamaannya dengan wilsa,pertemuan dengan Rido dan alasan Rido membatalkan rencana pernikahannya.

Sempat hening beberapa saat, setelah Erlina mengkahiri ceritanya. Pak amin pun tidak sanggup berkata – kata mendengar keseluruhan cerita Erlina. Keduanya diam membisu sampai tiba di rumah Erlina.

“Bapak ikut turun mengantarmu masuk ke dalam rumah. Ga enak sama orang tuamu, pulang selarut ini dari kantor.”

Sepulang mengantar Erlina, Pak Amin merasakan ada getaran aneh yang tiba – tiba menelusup di relung hatinya. Entah perasaan seperti apa. Bayangan wajah Erlina selalu menghiasi pelupuk mata pak Amin semenjak malam itu. 



Bersambung