Image taken from : warihfirdausi.blogspot.com
“Woiiiii, jelek banget sih mukamu,
melongo kayak gitu. Hahahahahha. Kenapa sih, Non, liatin aku kayak liat
hantu aja.” Ucap Wilsa seraya mengusap - usap kepala Erlina.
” Wil, barusan aku liat kamu masuk toilet, Pria. Apa ga salah tuh?” tanya Erlina masih dengan wajah bingungnya.
“Well, look at me, dear? Liat dengan
seksama. Apa pendapatmu?” tanya Wilsa sambil berputar di depan Erlina
seolah ingin menunjukkan perubahan yang ada pada dirinya.
Berulang kali Erlina memandang Wilsa,
dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ada yang beda memang, batin Erlina.
Tapi dia sulit untuk menggambarkannya. Hanya terbesit satu kata di
benak Erlina. Tampan. Yahh..Wilsa keliatan tampan, layaknya pria
sungguhan. Tidak tampak sedikitpun kalau Wilsa itu seorang perempuan.
Orang lain pasti akan mengira kalau ia adalah seorang pria tulen, tanpa
cacat.
“Hemm, sepertinya otakmu agak lemot neh, Er. Okelah, kita cabut dulu aja deh dari sini, ntar aku jelasin pelan - pelan.”
Sepanjang perjalanan naik taksi menuju
rumah kontrakan Wilsa, Erlina lebih banyak diam mendengar semua cerita
Wilsa. Mulai dari dia terus terang tentang perasaanya ke Erlina, hingga
keputusannya untuk operasi kelamin. Erlina tak mampu berucap sepatah
katapun. Wilsa pun membiarkan Erlina diam dengan kebisuannya. Membiarkan
otaknya mencerna secara perlahan cerita yang disampaikan Wilsa ke
Erlina.
“Well, jadi, begitulah Er. Seperti yang
pernah aku bilang ke kamu waktu itu, aku terjebak di raga seorang
perempuan. Dan itu sangat menyiksaku. Butuh pemikiran lama memang aku
memutuskan untuk operasi kelamin. Banyak resiko yang nantinya bakal aku
hadapi. Cemooh dan cibiran dari orang salah satunya. Entah dengan cara
apa aku nantinya akan menjelaskan ke keluargaku, tentang keadaanku
sekarang. Keluargaku memang sangat demokratis, tapi aku tidak bisa
menjamin tentang hal ini. Apakah mereka bisa menerima atau tidak. Dan
sekarang, kamu bisa kok mencintai aku selayaknya seorang pria dan
wanita. Hahahahahhaha ” jelas Wilsa sambil mencubit pipi Erlina yang
duduk di sebelahnya.
Erlina hanya tersenyum kecil, mendengar candaan yang dilontarkan Wilsa.
***
Rumah kontrakan Wilsa terbilang kecil.
Apalagi di sana sini terlihat tumpukan buku, terlihat semakin sumpek.
Tadinya Erlina berencana menginap di hotel, selama liburan di Jepang,
karena takut menganggu Wilsa yang sedang berkutat dengan thesisnya.
Namun, serta merta Wilsa melarang. Wilsa justru merasa senang dengan
keberadaan Erlina di rumah kontrakannya. Penambah semangat. Begitulah
alasan Wilsa melarang Erlina menginap di Hotel.
Hari demi hari dilalui Erlina
dengan sangat bahagia, selama liburanya di Jepang. Ia merasa begitu
nyaman berada di samping Wilsa. Tak ada rasa risih sedikitpun seperti
yang Ia rasakan sebelumnya. Pun ketika, tiba - tiba Wilsa mencium bibir
Erlina dengan lembut. Tak ada penolakan sedikitpun dari Erlina. Bahkan
terlihat Erlina sangat menikmatinya.
“Jangan panggil aku dengan Wilsa. Wilsa
adalah masa laluku, masa lalu kita. Willy. Yah, panggil aku dengan
sebutan Willy. ” Bisik Wilsa lembut ke telinga Erlina.
Erlina pun menenggelamkan tubuhnya ke
pelukan Willy . Kehangatan yang diberikan Willy membuat Erlina yakin
bahwa seseorang yang selama ini ia cari adalah Willy.
***
“Jadi, sudah yakin neh, aku tambatan
terakhir hatimu? Aku masih belum mapan lho, Er. Thesis aja belum kelar.
Kalau pak Amin kan sudah mapan. Paket hemat lagi. Dapat suami plus anak.
Hahahhahaha ” goda Willy seraya menikmati teh hangat di beranda
rumahnya.
Mendengar candaan Willy, Erlina hanya tertawa sambil
bergelayut manja di bahu Willy.
Tak ada lagi yang disembunyikan Erlina
tentang kehidupan pribadinya . Mulai dari pertemuannya yang tidak
sengaja dengan Rido di bandara, sampai pak Amin yang memintanya menjadi
istrinya. Semua sudah diceritakan dengan gamblang tanpa kurang
sedikitpun. Willy pun menanggapinya dengan bijak. Bahkan Willy masih
sempat menyarankan Erlina untuk bisa mencari pria yang bener - bener
normal, tidak seperti dirinya. Namun, cinta sudah membutakan logika
Erlina. Erlina sudah memantapkan hati dan pilihannya ke Willy, apapun
konsekuensinya. Erlina hanya butuh Willy seorang di dekatnya. Saat ini
dan untuk selamanya. Sepulang dari liburannya, Erlina akan menceritakan
semuanya ke keluarganya sekaligus ke Pak Amin, itu yang ada di benak
Erlina.
***
Sore itu begitu syahdu. Hanya keheningan
yang tercipta di sela - sela pohon kamboja. Rintik hujan yang turun
membuat suasana sore terlihat lebih sendu dari biasanya, seakan tahu
kepedihan hati Willy saat itu. Hanya tinggal willy sendirian yang masih
duduk terpaku menatap hamburan bunga mawar di atas gundukan tanah yang
masih basah. Begitu cepat Tuhan merenggut kebahagiaan yang baru ia
reguk. Baru setetes embun kebahagiaan yang ia rasakan. Yah… Tuhan
sepertinya tidak rela Willy menikmati embun itu selamanya. Tuhan mungkin
murka, sampai tega mengambil embun kebahagian darinya untuk selamanya.
“Erlina sayang, maafkan aku. Kalau saja
aku tidak memintamu ke Jepang untuk berlibur, mungkin kamu tidak akan
secepat ini menghuni rumah masa depanmu. Maafkan aku, sayang.” Gumam
Willy penuh penyesalan. Dipandanginya nisan yang ada di depannya.
Seolah tak percaya dengan tulisan yang tertera Erlina Wulandari. Lahir
25 Juli 1982. Meninggal 13 Oktober 2013.
***
Kecelakaan pesawat telah merenggut nyawa
Erlina sewaktu penerbangan pulang, dari Tokyo, Jepang ke Jakarta.
Hasil investigasi, diketahui bahwa kecelakaan pesawat yang membawa Erlina terbang dari Jepang pulang ke Indonesia terjadi
karena adanya benda asing yang masuk ke baling - baling pesawat atau
dikenal dengan istilah koba, yang menyebabakan pesawat mengalami
gangguan keseimbangan. Bagai petir menyambar di siang bolong, Willy
hampir tak percaya ketika melihat berita di televisi, sampai dia melihat
dengan mata kepalanya sendiri, gundukan tanah basah bertabur bunga dan
nisan tertera nama Erlina. Yah, Erlina Wulandari, sahabat karib
sekaligus kekasih hatinya.
“Semoga kamu tenang dan nyaman di rumah barumu, sayang. Doaku selalu menyertaimu. ” ucap willy sambil mencium nisan Erlina.
T.A.M.A.T
No comments:
Post a Comment