Masih tak percaya dengan apa
yang diungkapkan Wilsa lewat bbm beberapa hari lalu, berharap bahwa
Erlina ada kesalahan baca, namun, kalimat yang terangkai masih tetap
memberikan pesan singkat bahwa Wilsa, sahabat karibnya, menaruh hati
padanya, layaknya seorang pria jatuh cinta kepada seorang perempuan.
Bingung. Itulah yang dirasakan Erlina beberapa hari terakhir ini. Bbm
dari Wilsa pun yang mengabarkan kalau dirinya sudah sampai di Tokyo pun tidak dipedulikannya.
“Kenapa kamu nodai persahabatan kita dengan perasaanmu itu, Wil? Gumam Erlina pada dirinya sendiri di ruang kerjanya.
Semenjak kejadian di bandara
beberapa hari yang lalu, Erlina sengaja menenggelamkan diri di kantor.
Serpihan – serpihan semangat hidup yang tadinya sudah dia pungut dan
terikat kuat kembali koyak dan tercerai berai. Walaupun tidak separah
sewaktu kegagalan pernikahannya dengan Rido, namun pengakuan Wilsa
sempat membuat Erlina shock beberapa hari ini, hingga
membuat senyum yang selalu mengembang di bibir manisnya, pudar, hilang
entah ke mana.
Adalah pak Amin, begitu beliau
sering dipanggil di kantor Erlina, atasannya di kantor, yang akhir –
akhir ini memperhatikan Erlina dengan segala perubahannya.
“ Belum pulang, Er? Sudah hampir
jam 9 lho. Betah banget kamu di kantor. Bapak lihat, akhir – akhir ini
kamu pulang malam terus? “ suara pak Amin membuyarkan lamunan Erlina
seketika.
“Ehh.. pak Amin. Kok, saya ga kedengeran pak Amin masuk ? Jawab Erlina sambil membenarkan posisi duduknya.
“Lha gimana mau kedengeran,
orang kamunya asyik nglamun gitu kok. Beresin sana meja kerjamu, bapak
antar kamu pulang. Malam – malam gini, gadis pulang sendirian bahaya.
Sekalian temenin bapak makan malam. Kamu pastinya belum makan malam juga
kan? Mobilmu biar di sini aja, besok pas berangkat kerja, biar bapak
samperin kamu. Sekalian langsung kita meeting dengan direksi di hotel
Aston. Jadi, ga perlu mampir ke kantor dulu. “
Tanpa banyak komentar, Erlina menuruti perintah bosnya itu. Pak Amin adalah sosok pimpinan yang baik dan bersahaja kepada
seluruh karyawan di kantor. Bisa memposisikan diri, kapan beliau
berlaku sebagai pimpinan, atau sebagai rekan kerja dan juga sebagai
teman. Erlina pun tidak merasa canggung dengan bosnya itu. Sudah hampir 5
tahun Erlina jadi sekretaris pak Amin. Faktor inilah yang membuat
Erlina merasa nyaman dengan pak Amin. Di luar urusan kantor pun Erlina
tidak canggung ketika pak Amin meminta Erlina untuk menemaninya.
Walaupun hanya sekedar makan siang, ataupun menemaninya belanja dengan
anak – anaknya. Erlina sudah menganggap pak amin seperti omnya sendiri.
Usia yang terpaut lumyan jauh, membuat Erlina merasa nyaman bercerita
tentang hal pribadipun kepada pak Amin. Sosok yang ngayomi, itulah yang
ada di benak Erlina, ketika Erlina mengenal untuk pertama kalinya.
***
Jalanan Jakarta masih terlihat
padat, walaupun jarum jam sudah menunjukkan pukul 10 lewat. Jakarta
memang kota yang tidak pernah tidur, begitu kata kebanyakan orang.
“Kita makan sate ayamnya pak
Ateng aja ya, Er. Warung tenda yang deket kantor pajak itu. Mudah –
mudahan jam segini masih belum tutup.” Ucap pak Amin membuka pembicaraan di mobil.
Erlina hanya mengangguk saja, tanda setuju. Sebenarnya Erlina sudah berniat untuk berbagi cerita
dengan pak Amin tentang Wilsa. Namun, Erlina masih bingung harus
memulainya dari mana, dan lagi beberapa hari terakhir ini, sering ada
meeting persiapan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham). Erlina tidak ingin
menambah beban bosnya dengan permasalahan pribadinya, walaupun pada
dasarnya, pak Amin selalu welcome apapun permasalahan yang dihadapi
Erlina.
“Wuahhh, pak ateng, sudah hampir tutup ya? Masih ada kan pak, sate untuk saya?” Tanya pak Amin begitu turun dari mobil.
“Alhamdulillah, masih ada pak.
Sebenarnya belum mau tutup, pak. Tapi tadi, orang rumah telpon, suruh
cepat pulang, soalnya ada suadara dari kampung datang.” Jawab pak Ateng
“Ooohhh.. .. eiya pak, pesen
satu porsi seperti biasa, sama satu porsi lagi untuk Erlina. Sama teh
angetnya dua. “ pesan pak Amin untuk dirinya sendiri dan Erlina.
Tidak banyak obrolan diantara mereka berdua selama makan malam itu.
“Kami pulang ya pak Ateng. Salam
buat kelurganya yang baru datang dari kampung. “ ucap pak Amin selesai
menyelesaikan makan malamnya.
Perjalanan ke rumah Erlina
memakan waktu paling lama 30 menit dari warung pak Ateng. Hanya
terdengar alunan lagu sepanjang perjalanan menuju rumah Erlina, sampai
pak Amin tiba – tiba menanyakan tentang Wilsa.
“Wilsa apa kabar, Er? Sudah balik ke jepang ya?”
“Iya, pak. Saya mau ijin
langsung waktu itu, bapak masih ada agenda rapat dengan direksi, makanya
saya ijinke HRD. Wilsa baik pak. “
“Kenapa Er? Bapak liat akhir –
akhir ini, kamu ga seperti biasanya Ga usah sungkan. Cerita aja kalau
itu bisa buat kamu sedikit enakan. “
Waktu yang ditunggu
– tunggu oleh Erlina. Sudah lama sebenarnya Erlina ingin berbagi cerita
dengan pak Amin. Dan pucuk dicinta ulam pun tiba. Pak amin seolah tahu
kegundahan yang dialami Erlina.
“Wilsa menaruh hati sama saya
pak.” Perkataan Erlina sontak membuat pak Amin terkejut dan hampir saja
mobilnya menabrak orang yang sedang melintas.
“Wilsa??? Apa dia….????”sebelum
pak amin melanjutkan perkataannya, Erlina sudah mengangguk,
mengisyaratkan bahwa apa yang ada di pikiran pak Amin adalah benar.
Panjang lebar Erlina
menceritakan kebersamaannya dengan wilsa,pertemuan dengan Rido dan
alasan Rido membatalkan rencana pernikahannya.
Sempat hening beberapa saat,
setelah Erlina mengkahiri ceritanya. Pak amin pun tidak sanggup berkata –
kata mendengar keseluruhan cerita Erlina. Keduanya diam membisu sampai
tiba di rumah Erlina.
“Bapak ikut turun mengantarmu masuk ke dalam rumah. Ga enak sama orang tuamu, pulang selarut ini dari kantor.”
Sepulang mengantar Erlina, Pak
Amin merasakan ada getaran aneh yang tiba – tiba menelusup di relung
hatinya. Entah perasaan seperti apa. Bayangan wajah Erlina selalu
menghiasi pelupuk mata pak Amin semenjak malam itu.
Bersambung
No comments:
Post a Comment