By : Acik Rangkat & Dewa Rangkat
Image taken from ariomuhammad.com
Tiap manusia pastinya mempunyai masa lalu sendiri – sendiri.
Terlepas apakah itu masa lalu yang manis ataupun sebaliknya, hal itu merupakan
rangkaian dalam perjalanan kehidupan yang tidak akan pernah terputus. Seperti
yang sedang dialami oleh Arika. Entah semua berawal dari mana. Yang jelas
pertemuan tak sengaja itu kembali merajut kenangan – kenangan indah Arika
dengan seseorang yang pernah singgah dalam relung hatinya yang paling dalam.
Takdir ataukah kebetulan, Arika juga tak bisa mendefinisikannya. Atau
kebetulan yang terbungkus oleh takdir? Yang jelas, senja di cakrawala menjadi
saksi awal dari semua kisah yang tidak masuk dalam rencana kehidupan
Arika.
Sore itu tidak biasanya Arika pulang begitu cepat. Sudah menjadi
makanan setiap harinya, tiap kali pulang kantor pasti selepas isya’. Hari
itu Arika pulang lebih awal dari biasanya. Jam lima, Arika sudah
berada di lobi kantor untuk bertemu dengan klien. Sebenarnya, bukan
kapasitas Arika untuk bertemu dengan klien, namun karena atasannya
sedang ada dinas ke luar kota, sebagai sekretarisnya Arika harus
bisa menggantikannya untuk sementara. Arika bekerja sebagai sekretaris direksi
di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Sebagai seorang
sekretaris ia harus siap setiap saat bila dibutuhkan. Walaupun hanya bertemu
dengan klien dan menjadwalkan ulang untuk pertemuan berikutnya. Seperti
yang sedang dilakukannya sore itu. Pertemuan yang hanya berlangsung tidak
lebih dari satu jam, namun mampu membangkitkan gejolak kenangan yang telah
terkubur empat tahun lamanya. Sore yang penuh dengan gejolak. Kalimat
yang tepat untuk mendefinisikan keadaan Arika.
“Bu Arika, tumben jam segini sudah turun ke bawah?” Sapa mbak
Sarti, office girl kantor. Adalah hal yang aneh buat mbak sarti melihat
Arika sudah duduk manis di lobi utama kantor karena sepengetahuan mbak
sarti, Arika hampir tiap hari pulang paling cepat jam 8 malam.
“Iya, mbak Sarti. Ada janjian sama klien bos sore ini. Janjiannya
sih tadi di lobi utama kantor, tapi sudah hampir setengah jam nunggu belum ada
tanda-tanda penampakan dari klien si bos nih.” Jawab Arika agak kesal sambil
terus melihat jam tangan dan sesekali mengecek ponselnya.
“ Sarti buatkan kopi buat Bu Arika ya, sambil nunggu kliennya
datang.”. Tanpa ragu, Arika
menganggukkan kepala tanda setuju dengan tawaran Mbak Sarti. Tak butuh
waktu lama Mbak Sarti membuat kopi untuk Arika. Dan tidak sampai lima menit Arika pun menikmati kopi buatan Mbak
Sarti.
Jelas tampak di wajah Arika, kegelisahan yang tidak jelas. Antara
gelisah karena klien yang ditunggunya tak kunjung datang, dan perasaan gelisah
yang Arika sendiri tidak bisa mendefinisikan apa artinya. Yahh..perasaan
gelisah yang tiba-tiba menelusup ke dalam relung hatinya. Arika pun
berusaha menghilangkann kejenuhannya menunggu dengan sibuk memainkan ponselnya.
“Dengan Ibu Arika?” terdengar suara seorang pria yang tidak asing
di telinga Arika. Tanpa menoleh ke arah suara tadi, seketika bayangan masa lalu empat tahun silam
kembali tersibak.
Potongan demi potongan peristiwa seolah hadir tanpa ia minta. Ada
harapan dalam hatinya semoga sang pemilik suara bukanlah orang yang pernah ia
kenal. Arlika perlahan bangkit dari duduknya, membalikkan tubuhnya menghadap ke
arah sumber suara.
“Alvin…” lirih Arika menyebutkan nama pria yang ada dihadapannya.
Tubuh Arika nyaris limbung, sekuat tenaga ia menahan berat tubuhnya agak tak
terjatuh.
“Maaf sudah membuat Ibu Arika menunggu” ucap lelaki berbadan tegap
dengan kulit sawo matang yang ada dihadapannya itu. Arika berusaha tersenyum
meski terlihat sangat kaku. Lelaki itu menyodorkan tangan kanannya untuk
bersalaman, Arika menyambutnya dengan tangan yang gemetaran.
“Apa kabar, lama gak ketemu”.
“Baik” jawab Arika singkat sambil menarik tangan kanannya cepat –
cepat. Lima detik berlalu tanpa sepatah kata pun keluar dari bibir keduanya.
Sampai sebuah suara menyadarkan mereka berdua dari lamunan.
“Mau dibuatkan minum apa, pak ?” tanya mba Sarti pada tamu
Arika ini.
“Coffee creamer aja mba” jawab Alvin.
“Coffenya satu sendok takar, gulanya dua sendok, creamaernya tiga
sendok” sambung Arika kemudian. Arika dan Alvin kembali bertatapan, sungguh
Arika tak tau darimana refleks bicara itu tiba – tiba keluar. Alvin kemudian
menganggukkan kepalanya kepada mba Sarti pertanda ia setuju pada kata – kata
Arika. Tak mau membuat tamu bosnya menunggu lama, mba Sarti bergegas ke dapur
menyiapkan minuman sesuai pesanan sang tamu. Selepas mba Sarti pergi ke dapur,
mereka mulai membicarakan masalah bisnis yang memang sejak awal harus mereka
bicarakan.
Arika hanya sebatas menggantikan sang atasan saat itu. Ia memilih
untuk kembali membuat janji pertemuan anatara bosnya dengan Alvin seminggu
lagi. Arika berharap pertemuan itu tak membawa pengaruh dalam kehidupannya.
Tapi nyatanya, hampir satu jam mereka berbicara tentang pekerjaan diselingi
pertanyaan - pertanyaan pribadi sesekali. Dan selama itu pula Arika tak
mampu berkonsentrasi tentang apa – apa yang mereka bicarakan.
Empat tahun lalu menjadi tahun terberat bagi kehidupan peribadi
Arika. Hari – hari yang dilalui berikutnya menjadi pergantian hari yang
membuatnya sesak, bahkan nyaris membuat Arika memutuskan untuk tak berTuhan.
Arika terus mempertanyakan keadilan Tuhan atas hidupnya. Sejak kehilangan Ibu
dan Ayahnya dalam sebuah kecelakaan pesawat, hanya Alvin yang selanjutnya
membuatnya memiliki keinginan untuk kembali hidup setelah kesedihan yang
berkepanjangan. Alvin, lelaki yang dikenalnya secara tak sengaja di sebuah
perpustakaan pusat daerah. Saat itu Arika mencari literatur untuk tugas akhir
kuliahnya. Sementara Alvin hendak mengembalikan buku yang kebetulan dicari
Arika. Sejak saat itu, Alvin dan Arika mulai intens berkomunikasi. Banyak hal
yang mereka bicarakan, bahkan tak jarang perdebatan – perdebatan kecil
berlangsung dalam chating mereka tiap hari.
Ada yang pernah mengatakan bahwa jika bahagia sedang dirasa, maka
berbahagialah seperlunya. Karena kita tidak akan pernah tahu seberapa lama
kebahagiaan kita hinggap dan berganti kesedihan. Maka hal serupa itu nyatanya
terjadi pada diri Arika. Pada pertemuan ketiganya dengan Alvin semua tiba –
tiba berubah. Selama ini mereka rutin berkirim kabar hanya lewat pesan singkat
dari ponsel masing – masing.
Sejak mulai pertemuan ketiga mereka, Arika merasa ada yang tak
enak dalam hatinya. Entah apa. Hingga akhirnya, ketika Alvin memutuskan
mengantarkan Arika pulang dengan mobilnya, Arika menemukan sebuah surat yang
membuat hidup dan hatinya berubah. Arika segera mempertanyakan kertas yang
ditemukannya secara tak sengaja dari dalam mobil Alvin.
“Aku… Aku memang pasien transgender…” aku Alvin yang masih
memarkirkan mobilnya di halaman rumah Arika. Arika mendadak mati rasa. Tubuhnya
seolah membeku tak bisa digerakkan.
“Tapi bahkan pengadilan sudah melegalkan semuanya” ucap Alvin
lagi. Alvin tau apa yang akan dihadapinya setelah Arika mengetahui rahasia
terbesar dalam hidupnya. Salah satu alasan mengapa bahkan sampai detik ini
Alvin tak pernah bercerita tentang keluarganya. Keluarga yang ia tinggalkan
karena merasa tak sefaham dan tak merestui keputusannya. Keluarga yang juga
mengabaikannya saat seisi dunia pun menjauhinya. Arika tetap tak bergeming. Ia
melipat kertas itu dan memberikannya pada pemiliknya.
“Terimakasih sudah mengantar aku pulang”. Hanya sekalimat itu yang
terlontar dari mulut Arika sebelum keluar dari mobil Alvin. Tak ada lagi kata –
kata setelah itu. Bahkan meski Alvin terus berusaha menghubunginya, Arika tetap
tak bergeming. Hingga hari ini tiba. Hari dimana Alvin kembali dalam
kehidupannya.
“Terima kasih untuk pertemuan
hari ini, semoga minggu depan bisa bertemu lagi” ucap Alvin sembari bangkit
dari duduknya dan menyodorkan tangan kanannya untuk bersalaman dengan Arika.
Arika menyambutnya dan tersenyum, kali ini lebih hangat dari senyumnya tadi.
“Hati – hati”. Arika hanya mampu memandangi punggung kekar itu
yang perlahan pergi menjauhinya.
Apa yang telah tertanam dan mengakar tidak akan
bisa dengan mudah dapat dihilangkan. Pun dengan rasa. Jejak rasa yang
tertinggal entah disadari atau tidak bisa tumbuh menjadi tunas baru. Ketika
waktu mengambil peran penting dalam kisah kasih insani, gejolak
rasa yang tak seharusnya ada akan menggoreskan cerita dalam alur yang tidak
akan pernah bisa diduga. Karena Rasa terkadang tak butuh logika…