Image taken from : http://solvethisgame.blogspot.com
“Bangunlah mimpi di atas mimpi, Nak. Mimpi
adalah semangat hidupmu. Ketika mimpimu hancur berkeping – keeping, jangan
pernah ragu untuk bangkit lagi. Ambil puing – puing mimpimu, dan rakit kembali.
Ingatlah, begitu kau merkaitnya kembali,
yakinlah bahwa mimpimu bukan sekedar puing, kamu pasti mampu membangun mimpi di
atas mimpi. Ayah percaya, kamu pasti bisa”
Ucapan itu selalu
terngiang-ngiang di telinga Mira, ketika
ia sedang dalam kondisi terpuruk dan patah arang dalam mencapai asa
dan citanya. Yahhh, ucapan ayahnya kala
itu, ketika Mira pertama kalinya
berpamitan dan meminta restu untuk menimba ilmu di kota pelajar Jogjakarta. Tak
henti – hentinya ayahnya selalu
mengingatkan akan hal itu. Dan selama di perantauan, ucapan ayahnya telah terbukti mengantarkan Mira menyandang gelar sarjana dari salah satu
universitas ternama di kota pelajar Jogjakarta.
Berangkat dari
keluarga dengan keadaan ekonomi yang pas –pasan, Mira bertekad untuk tidak
mengecawakan kedua orangtuanya. Karena bagi Mira, jerih payah mereka harus bisa
dibayar dengan keberhasilan dirinya menyandang gelar sarjana sesuai dengan
harapan dan impian kedua orang tuanya, terutama sang ayah. Pekerjaan ayahnya yang hanya seorang
wiraswasta kecil – kecillan dalam bidang usaha percetakan, di mana tidak setiap
hari mendapatkan orderan cetakan, membuat Mira sempat mengurungkan niatnya
untuk melanjutkan jenjang belajarnya sampai tingkat universitas. Mira sadar,
bahwa akan sangat membutuhkan banyak biaya untuk kuliahnya kelak. Dan dengan penghasilan ayah Mira yang tidak
tetap setiap harinya, Mira ragu, ayahnya akan mampu membiayai kuliahnya sampai
selesai mendapatkan gelar sarjana. Namun, ayah Mira meyakinkannya, akan berusaha sekuat
tenaga untuk bisa membuat Mira kuliah sampai selesai.
“Mira, seperti yang kamu ketahui, kita bukan
berangkat dari keluarga yang berada. Maka dari itu, Ayah tidak akan bisa
meninggalkan harta warisan seperti keluarga lain pada umumnya. Untuk itu, yang Ayah
bisa lakukakn adalah berusaha semampu Ayah untuk mengantarkanmu mencapai
cita-cita dan anganmu. Yahhh…mungkin hanya itu nantinya yang bisa Ayah wariskan ke kamu kelak kalau Ayah sudah tidak
ada. Ayah bisa berhasil membawamu meraih
kesuksesan seperti yang kamu harapkan. “ perkataan ayah Mira yang akhirnya membuat Mira yakin untuk
meneruskan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Lika liku perjalanan
Mira di kota pelajar demi mewujudkan
impiannya bukanlah tanpa kerikil – kerikil cobaan. Menjelang perkuliahan
tingkat akhir, keadaan ekonomi keluarganya sangat terpuruk. Untuk kehidupan
sehari – hari saja di rumahnya, ayahnya gali lubang tutup lubang, meminjam
tetangga dan sanak saudara agar supaya dapur masih bisa mengepul. Hal ini
sempat membuat Mira berinisiatif untuk mengambil cuti satu tahun dari kuliah
untuk mencari pekerjaan membantu perekonomian keluarganya. Walaupun selama
menjalani kulaih, Mira mendapatkan beasiswa, namun, uang beasiswa hanya mampu
untuk mencukupi kebutuhan akademisnya saja, sedangkan kebutuhan sehari – hari,
Mira hanya mengandalkan uang bulanan dari orang tuanya dan hasil dari kerja sampingannya
dia sebagai waitress di sebuah coffee
shop. Inisiatif Mira untuk mengambil cuti tersebut di tentang habis – habisan oleh
Ayahnya.
“Ayah, Mira
ambil cuti kuliah saja ya. Setahun. Mira akan cari kerjaan dulu untuk sementara
waktu, sambil menunggu keadaan perekonomian kita membaik. Mira akan kerja full
time di coffee shop, tempat biasa Mira kerja selepas habis kuliah. Mudah –mudahan
hasilnya bisa sedikit membantu, Yah.” Kataku waktu itu lewat telepon.
”Kamu, nggak
perlu cuti kuliah, Mira. Tidak perlu ikut memikirkan dari mana ayah bisa
mencukupi kebutuhan kamu selama di sana. Ayah percaya, rejeki pasti ada untuk
hal – hal yang baik. Tugasmu sekarang
adalah, konsentrasi saja di kuliahmu. Buat bangga ayah dengan kepulanganmu
sebagai seorang sarjana. Masih ingat kan dengan ucapan ayah waktu itu? Rakit
kembali mimpimu, ketika kamu merasa mimpimu hampir hancur berkeping – keping.”
Jawaban ayah Mira kembali membangkitkan semangat Mira yang hampir saja padam.
“Satu - satunya jalan, aku harus segera
menyelesaikan studiku lebih cepat dari yang seharusnya. Yuppp…aku pasti bisa”
gumam Mira meyakinkan kepada dirinya sendiri sesudah mengakhiri pembicaraan
dengann ayahnya melalui telepon.
Tuhan tidak akan
memberikan kesulitan di luar batas kemampuan umatnya. Sepertinya ungkapan ini
memang benar adanya. Terbukti, dengan berhasilnya Mira menyandang gelar serjana
6 bulan lebih cepat dari yang seharusnya. Yahh… berbekal dengan tekad dan
keyakinan, serta dorongan semangat yang tak pernah putus dari orang tuanya,
akhirnya Mira mampu menyelesaikan dan mempersembahkan gelar sarjana kepada mereka.
Walaupun ayahnya tidak sempat melihat Mira memakai baju toga, namun Mira yakin,
bahwa ayahnya juga ikut menyaksikan hari bahagia itu walupun dari tempat dan
alam yang berbeda. Yahhh…dua minggu menjelang sidang ujian skripsinya, Mira
mendapat kabar kalau tiba – tiba ayahnya terkena serangan jantung dan akhirnya
meninggal dunia. Hal ini membuat Mira mengalami kesedihan yang luar biasa, dan
sempat membuat Mira seolah kehilangan tujuan hidup. Namun berkat bimbingan dan
nasehat dari ibunya, serta ucapan ayahnya yang selalu dia pegang teguh sebagai
cambuk semangatnya, Mira pun bangkit dari keterpurukannya dan bertekad tetap membuat
bangga ayahnya.
“Ayah, terima kasih atas dorongan semangat
yang tak henti – hentinya ayah berikan kepada Mira. Mira sedih sekaligus
bahagia. Sedih,karena ayah tidak sempat melihat Mira memakai toga. Bahagia,
karena Mira akhirnya bisa mewujudkan keinginan ayah untuk Mira menggapai impian
Mira. Mira selalu pegang pesan ayah untuk tetap membangun mimpi di atas mimpi. Mimpiku bukan sekedar puing, aku berdiri membangun mimpi di atas mimpi. Semoga ayah di sana bisa ikut
merasakan kebahagiaanku. Terima kasih untuk semuanya, ayah. “ Diciumnya batu
nisan di atas pusara ayah Mira setelah dia menaburkan bunga di atasnya.